Rasulullah SAW bersabda:
"Apakah engkau ingin hatimu lembut dan kebutuhanmu terpenuhi? Maka sayangilah anak yatim, usaplah kepalanya, dan berilah ia makan dari makananmu, niscaya hatimu akan menjadi lunak dan kebutuhanmu akan terpenuhi." (HR. Thabrani)
Hadis ini kerap kita dengar dalam ceramah atau majelis ilmu. Namun makna sejatinya baru benar-benar terasa ketika pengalaman hidup membawanya langsung di depan mata.
Saat Cucu Menjadi Yatim
Beberapa hari setelah Lebaran tahun lalu, keluarga kami diliputi duka. Menantu yang lama sakit akhirnya berpulang, meninggalkan dua anak kecil: satu baru berusia setahun, yang lain belum genap tiga tahun. Sejak saat itu, keduanya tumbuh sebagai yatim.
Sebagai seorang kakek, perasaan saya sulit dilukiskan. Ada pedih yang menyayat setiap kali menatap wajah polos mereka, namun bersamaan dengan itu hadir rasa haru yang menyejukkan. Aneh memang, di balik duka mendalam justru mengalir kelembutan hati yang tak terjelaskan. Benarlah sabda Nabi: menyayangi anak yatim melembutkan hati.
Lebih dari itu, ternyata ada pula kebahagiaan yang ikut menyelinap. Celoteh polos, tawa riang, dan langkah kecil cucu-cucu itu menjadi penghiburan. Seolah Allah menitipkan pesan: kehilangan memang berat, tetapi cinta mampu menutup luka.
Syukur pula, meski ayah mereka telah tiada, kedua cucu ini tidak benar-benar sendiri. Kasih sayang yang tercurah tidak hanya datang dari  keluarga besar kami, tetapi juga dari keluarga besar ayahnya---baik berupa perhatian, dukungan moral, maupun bantuan materi. Figur seorang ayah memang tak tergantikan, namun kehadiran keluarga besar sedikit banyak mampu mengurangi dahaga itu, menutup sebagian kekosongan yang ditinggalkan.
Tidak Semua Yatim Beruntung
Namun saya sadar, tidak semua anak yatim memiliki cerita serupa. Banyak di antara mereka justru menanggung beban ganda: kehilangan orang tua sekaligus kehilangan kasih sayang.
Data UNICEF (2021) mencatat, ada sekitar 4,2 juta anak yatim piatu di Indonesia. Sebagian besar hidup dalam keterbatasan, ada yang terlantar, bahkan ada yang menjadi korban kekerasan dan eksploitasi. Mereka kehilangan bukan hanya figur ayah atau ibu, tetapi juga kesempatan untuk tumbuh dengan layak: pendidikan, kesehatan, dan dukungan emosional.
Fakta ini membuat sabda Nabi semakin nyata. Menyayangi anak yatim bukan sekadar amal pribadi, melainkan juga tanggung jawab sosial. Ia menjadi tolok ukur keberadaban: seberapa pedulikah kita terhadap mereka yang kehilangan sandaran?
Bagi saya, keberadaan dua cucu yatim ini adalah ujian sekaligus anugerah. Ujian karena hati harus lebih kuat, langkah harus lebih mantap. Anugerah karena melalui mereka, hati ini kembali belajar menjadi lembut.
Menyayangi anak yatim bukan sekadar memberi makan atau santunan. Lebih dari itu, ia tentang menghadirkan rasa aman, perhatian, dan cinta. Saat itu diberikan, bukan hanya anak yatim yang berbahagia---melainkan hati kita pun ikut sembuh dari luka.
Kini, setiap kali melihat cucu-cucu saya tertawa riang, saya merasa Allah sedang mengingatkan: hidup bukan hanya tentang kehilangan, melainkan tentang bagaimana kita mengisi kekosongan itu dengan kasih sayang.
Penutup
Menyayangi anak yatim adalah ladang amal yang tak pernah kering, jalan melembutkan hati, sekaligus pintu keberkahan. Jika setiap keluarga dan masyarakat mau mengambil peran, niscaya tidak ada lagi anak yatim yang merasa sendirian di negeri ini.
Sebab perhatian kepada anak yatim bukan hanya urusan pribadi, tetapi juga cermin peradaban. Masyarakat yang memuliakan anak yatim adalah masyarakat yang masih memiliki nurani, yang hatinya belum membatu oleh kesibukan dunia. Sebaliknya, ketika anak yatim dibiarkan terlantar, itulah tanda kegelapan hati dan runtuhnya kepedulian sosial.
Rasulullah SAW sendiri menegaskan: "Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini," sambil merapatkan dua jarinya (HR. Bukhari). Hadis ini bukan sekadar janji, melainkan motivasi agar kita menjadikan kasih sayang kepada yatim sebagai tradisi hidup.
Karena itu, mari kita mulai dari lingkaran terdekat: keluarga, tetangga, hingga lingkungan masyarakat. Hadirkan senyum di wajah mereka, bukan hanya dengan santunan materi, tetapi juga dengan perhatian, belaian kasih, dan pelukan hangat.
Di balik setiap tawa mereka, tersimpan doa yang menembus langit. Dan di balik setiap usapan lembut di kepala mereka, terselip janji Nabi: hati menjadi lunak, kebutuhan terpenuhi, dan hidup pun penuh berkah. Pada akhirnya, bukan hanya anak yatim yang berbahagia, melainkan kitalah yang hatinya disembuhkan, rezekinya dilapangkan, dan hidupnya dipenuhi cahaya keberkahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI