Tulisan di Kompasiana berjudul “Kedaulatan Masih di Tangan Rakyat” mengingatkan kita pada fakta pahit demokrasi: rakyat yang sering disebut pemilik negara justru kerap menjadi korban dari sistem yang seharusnya melindungi mereka. Hak rakyat untuk didengar sering kali hanya menjadi slogan, sementara realitasnya kebijakan kerap memihak kelompok berkuasa. Tragedi meninggalnya seorang pengemudi ojek online yang tengah melintas saat aksi unjuk rasa menambah daftar panjang luka kolektif bangsa ini.
Siang itu, selepas salat Jumat, saya mendengar kabar tersebut di Kantor Masjid Darut Taubah. Percakapan yang biasanya ringan, kali ini terasa berat. “Katanya dia bukan peserta aksi, cuma lagi melintas,” ujar seorang pengurus masjid. Yang lain menimpali, “Iya, bukan dia saja. Ada yang luka-luka juga. Ngeri kalau sampai jadi korban padahal tidak ikut demo.”
Ucapan itu membuat saya terdiam. Pikiran saya melayang ke masa kuliah, ketika pertama kali turun ke jalan untuk menolak porkas, judi resmi yang dilegalkan pemerintah kala itu. Saya masih ingat wajah saya terpampang di majalah nasional, memegang poster dengan semangat muda yang membara. Namun satu hal yang selalu saya pegang: aksi harus tertib, tidak merusak, dan tidak melukai siapa pun. Sebab, tujuan dari aksi adalah menyampaikan pesan, bukan menebar ketakutan.
Aksi dan Kritik dalam Perspektif Syariat
Dalam ajaran Islam, mengingatkan pemimpin adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa menyampaikan kebenaran di hadapan pemimpin yang lalim adalah bentuk keberanian yang sangat bernilai. Namun, Islam tidak hanya memerintahkan keberanian; ia juga memberikan rambu-rambu agar kritik tidak berubah menjadi fitnah dan kerusuhan.
Sejarah para sahabat memberikan teladan luar biasa. Salman al-Farisi pernah menegur Umar bin Khattab tentang jatah kainnya. Seorang perempuan mengoreksi kebijakan Umar tentang mahar, dan Umar menerima dengan lapang dada. Bahkan Abu Bakar ash-Shiddiq di awal kepemimpinannya berkata, “Jika aku benar, dukunglah aku; jika aku salah, luruskanlah aku.”
Inilah bukti bahwa kritik adalah bagian dari tradisi Islam. Namun kritik harus dilandasi niat baik, disampaikan dengan adab, dan berorientasi pada maslahat.
Parlemen Jalanan: Cermin Demokrasi yang Cacat
Aksi massa yang sering disebut “parlemen jalanan” lahir dari kekecewaan publik terhadap saluran formal demokrasi. Ketika suara rakyat tidak lagi terwakili dengan baik di lembaga perwakilan, jalanan menjadi satu-satunya ruang ekspresi. Namun, jika aksi jalanan tidak diatur dengan adab, ia justru menjadi bumerang—menciptakan ketakutan, merusak fasilitas umum, bahkan memakan korban yang tidak terlibat.
Hak rakyat sering kali hanya menjadi slogan politik. Negara seharusnya menjamin hak rakyat untuk bersuara sekaligus melindungi keselamatan seluruh warga. Dalam perspektif Islam, menjaga nyawa satu orang sama dengan menjaga nyawa seluruh manusia. Jika ada yang menjadi korban hanya karena kebijakan keamanan yang keliru, maka sistem tersebut wajib dikoreksi.