Adapun jika korban hanya mengalami luka atau kehilangan anggota tubuh, diyatnya disesuaikan dengan kadar kerusakan:
Luka yang menyebabkan cacat → diyat lebih kecil dari 100 unta. Luka ringan → diyat lebih ringan lagi, namun tetap dihitung dengan jelas. Artinya, dalam syariat, setiap tetesan darah ada nilainya. Tidak ada luka yang dianggap sepele hingga tanpa konsekuensi hukum.
Mengingat Kisah Umar bin Khaththab ra.
Tragedi penikaman imam masjid hari ini mengingatkan kita pada sejarah besar Islam. Khalifah Umar bin Khaththab ra., pemimpin kedua sepeninggal Rasulullah ï·º, wafat karena ditikam saat menjadi imam shalat Subuh di Masjid Nabawi.
Peristiwa itu menunjukkan betapa seorang pemimpin dalam Islam bukan hanya kepala negara, tapi juga imam shalat dan khatib Jumat. Umar berada di shaf terdepan bersama rakyatnya, tanpa sekat, tanpa pengawal berlapis. Beliau mengajarkan bahwa pemimpin sejati adalah imam dalam arti luas: memimpin umat di masjid, di medan perang, dan di urusan negara.
Bedanya, penikaman Umar dilatarbelakangi kebencian ideologis dari musuh Islam, sementara penyerangan imam masjid hari ini sering kali muncul karena masalah pribadi, gangguan mental, atau lemahnya pendidikan agama. Meski motif berbeda, keduanya tetap menyiratkan pesan yang sama: imam adalah simbol wibawa umat. Menyerang imam berarti meruntuhkan rasa aman jamaah dan melecehkan kehormatan umat Islam.
Perbuatan Terbuka, Dosa Lebih Berat
Dalam fikih Islam, penikaman hingga menyebabkan kematian dihukum qishash. Jika hanya melukai, berlaku qishash luka atau diyat sesuai kadar luka. Namun, bila kejahatan dilakukan terang-terangan di ruang publik seperti masjid, maka dosanya lebih berat karena merusak rasa aman masyarakat. Bahkan, bisa digolongkan sebagai hirabah (teror), yang hukumannya sangat keras: hukuman mati, salib, atau pengasingan (QS. Al-Maidah: 33).
Artinya, penikaman imam masjid bukan sekadar kriminal biasa, tapi juga tindakan teror yang merusak sendi kehidupan umat.
Kembali pada Keadilan yang Sejati
Realita pahitnya, hukum hari ini sering gagal memberikan rasa keadilan. Akibatnya, masyarakat kehilangan kepercayaan pada hukum dan cenderung mencari jalan sendiri, bahkan main hakim sendiri. Padahal, yang paling dibutuhkan umat adalah kepastian keadilan yang tegas dan tidak bisa dinegosiasikan.
Islam menegakkan hukum bukan hanya untuk menghukum pelaku, tapi juga untuk melindungi masyarakat dan menghidupkan rasa aman. Qishash ditegakkan agar orang takut berbuat kejahatan. Dengan begitu, darah kaum Muslimin terlindungi, masjid tetap menjadi tempat suci yang damai, dan keluarga korban tidak merasa dizalimi.