Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Magister pendidikan, pengasuh pesantren tahfidz, dan penulis opini yang menyuarakan perspektif Islam atas isu sosial, pendidikan, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa Pendidikan Kita Masih Timpang? Data Anggaran yang Mengejutkan

25 Agustus 2025   09:10 Diperbarui: 1 September 2025   12:23 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
harianbhirawa.co.id

Pendidikan kerap disebut sebagai tangga peradaban. Dari podium-podium resmi, pemerintah selalu menegaskan bahwa sektor ini menjadi prioritas pembangunan. Namun, begitu membuka lembaran laporan anggaran, semangat itu seakan tinggal ilusi. Ada jurang ketimpangan yang begitu lebar: jalur sekolah kedinasan ibarat jalan tol mulus, sementara pendidikan umum, madrasah, dan pesantren harus menapaki jalan rusak penuh lubang.

Dalam forum Rapat Kerja Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan, Ketua Fraksi Golkar MPR RI Melchias Markus Mekeng menyoroti ketimpangan mencolok ini. Menurutnya, sekolah kedinasan yang hanya menampung sekitar 13 ribu siswa mendapat alokasi hingga Rp104,5 triliun. Sebaliknya, jalur pendidikan umum—dari SD hingga perguruan tinggi—yang mencakup sekitar 64 juta siswa hanya memperoleh Rp91,4 triliun. Perbedaan yang begitu kontras ini jelas memperlihatkan adanya ketidakadilan struktural dalam kebijakan anggaran pendidikan nasional (Detik, 20 Agustus 2024).

Sekolah kedinasan tentu punya peran penting. Ia disiapkan untuk mencetak aparatur negara yang profesional. Fasilitas lengkap, biaya hidup ditanggung, dan lulusannya langsung diangkat sebagai PNS. Namun, dengan porsi anggaran sebesar itu, sekolah kedinasan benar-benar seperti jalan tol mulus yang hanya bisa dilalui segelintir orang. Sebaliknya, jalur yang ditempuh mayoritas anak bangsa—sekolah negeri, swasta, madrasah, hingga pesantren—masih dipenuhi lubang, hambatan, dan keterbatasan.

Ketimpangan ini kian terasa ketika menengok kondisi pesantren dan pendidikan agama. Anggaran Kementerian Agama untuk pendidikan hanya berkisar Rp35–54 triliun. Dana itu harus dibagi untuk madrasah negeri dan swasta, guru agama di sekolah umum, serta bantuan pesantren. Tidak sedikit pesantren yang bertahan hidup dengan donasi masyarakat, gaji guru seadanya, dan fasilitas minim. Padahal, selama berabad-abad pesantren menjadi benteng moral bangsa sekaligus pusat kaderisasi ulama.

Dalam perspektif Islam, keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Berikanlah kepada setiap orang yang berhak akan haknya.” (HR. Abu Dawud)

Prinsip inilah yang seharusnya menuntun pemerintah dalam merumuskan anggaran pendidikan. Jika mayoritas rakyat menempuh jalur pendidikan umum dan pesantren, maka prioritas seharusnya ada di sana.

Ketimpangan anggaran ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan menyangkut masa depan kualitas SDM bangsa. Bila jalur tol hanya bisa dinikmati segelintir orang, sementara mayoritas berjalan di jalan rusak, maka sesungguhnya kita sedang membangun masa depan yang timpang. Lingkaran ketidakadilan akan terus berulang: fasilitas minim → kualitas rendah → kalah bersaing → kemiskinan struktural.

Ada beberapa langkah mendesak yang perlu dilakukan. Pertama, menghitung ulang proporsi anggaran pendidikan berdasarkan jumlah penerima manfaat. Prinsip keadilan menuntut mayoritas siswa memperoleh alokasi lebih besar. Kedua, memperkuat Dana Abadi Pesantren serta memberi dukungan nyata bagi sekolah swasta yang menampung jutaan siswa dengan fasilitas terbatas. Ketiga, menjamin transparansi dan akuntabilitas agar dana pendidikan benar-benar sampai ke lembaga, bukan berhenti di meja birokrasi.

Pendidikan bukan semata membangun gedung atau membagikan seragam gratis. Hakikat pendidikan adalah memberi kesempatan yang adil bagi setiap anak bangsa untuk menggapai masa depan. Jika sejak awal jalurnya timpang, bagaimana mungkin kita berharap hasil akhirnya setara?

Dalam Islam, pemimpin diposisikan sebagai ra’in—pengurus rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Pemimpin adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka, memperbaiki ketimpangan anggaran pendidikan bukan sekadar urusan fiskal, melainkan amanah syariat. Negara yang adil adalah negara yang memprioritaskan mayoritas rakyatnya, bukan hanya segelintir kalangan. Sebab, masa depan bangsa tidak ditentukan oleh jalan tol segelintir orang, melainkan oleh kualitas jalan yang ditempuh jutaan anak bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun