Beberapa kali saya shalat Jumat di luar, suasananya beragam. Tapi di masjid dekat rumah, hanya beberapa puluh meter saja, khatibnya tetap orang yang sama. Khutbah biasanya singkat, bahkan sering selesai lebih cepat daripada masjid-masjid sekitar. Kadang karena terlalu cepat, isinya sulit dicerna, apalagi kalau sedang mengantuk.
Namun Jumat kali ini berbeda. Dengan suara lantang, khatib membacakan tema besar tentang runtuhnya payung umat Islam Turki Utsmani di masa lalu dan bagaimana dampaknya masih terasa kini. Ia menggambarkan kondisi umat yang penuh permusuhan, diadu domba, dan sekilas seperti kereta api yang keluar dari relnya.
Luka yang Tidak Sekadar Politik
Keruntuhan kepemimpinan besar umat dahulu membawa dua dampak sekaligus. Secara material, kekuatan ekonomi dan politik melemah drastis. Secara mental, umat kehilangan izzah—harga diri sebagai peradaban besar. Tanpa persatuan, umat mudah dipecah belah, baik oleh kepentingan internal maupun intervensi eksternal.
Luka itu masih terasa. Kita melihat betapa mudahnya umat Islam hari ini diadu domba dalam urusan politik, mazhab, bahkan ekonomi. Persatuan yang rapuh membuat umat sulit bangkit.
Tabiat Musuh: Sebuah Sunnatullah
Khatib juga mengingatkan firman Allah tentang tabiat pihak yang tidak senang bila umat Islam bangkit. Mereka tidak ridha melihat umat ini bahagia, dan justru merasa puas ketika umat terpuruk.
Pesan ini bukan untuk menumbuhkan kebencian buta, melainkan agar kita paham sunnatullah dalam sejarah. Bahwa dalam setiap masa, selalu ada kekuatan yang tidak ridha jika umat Islam menegakkan identitas dan kemandiriannya.
Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 120:
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنكَ ٱلْيَهُودُ وَلَا ٱلنَّصَـٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلْهُدَىٰ