Siang tadi, saya dan dua sahabat melangkah menuju Masjid Darut Taubah. Meski matahari sudah tinggi, udara kotaku terasa teduh—tidak menusuk panas seperti biasanya. Menurut BMKG, beberapa hari terakhir suhu memang turun karena pengaruh angin muson Australia dan langit yang relatif cerah. Langkah pun terasa ringan, selaras dengan niat kami untuk hadir dalam suasana kebersamaan. Selain melaksanakan salat Jumat, kami memperkenalkan sebagian pengurus Dewan Masjid Digital Indonesia (DMDI) kepada pengurus DKM, serta membagikan buletin khusus Jumat.
Masjid Darut Taubah punya ciri khas yang jarang ditemui—terbuka lebar bagi siapa pun yang datang, dan hangat dalam menyambut. Khatibnya datang dari beragam latar belakang: hari ini dosen kampus Muhammadiyah, pekan lalu dosen kampus Persis; bahkan jamaah yang hanya sekadar berkunjung pun disapa seperti keluarga lama.
Siang itu jamaah membludak hingga teras dan halaman masjid dua lantai tersebut. Lantai utama penuh, balkon ramai, dan halaman pun menjadi bagian shaf ibadah. Pemandangan itu bukan sekadar keramaian, tapi pertemuan hati dalam bingkai ukhuwah.
Menjelang HUT RI yang tinggal dua hari lagi, khatib justru mengangkat tema tentang kematian—bukan kemerdekaan. Bagi sebagian orang, tema ini terasa “tidak musimnya”, tapi sejatinya selalu relevan. Sebab kematian tidak pernah menunggu tanggal merah.
Khatib membuka khutbah dengan ayat yang mengetuk kesadaran:
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
"Bagaimana kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu, lalu Dia menghidupkan kamu kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan." (QS. Al-Baqarah: 28)
Ayat ini mengingatkan: hidup di dunia hanyalah satu fase singkat, diapit oleh dua kematian, dan kelak semua akan kembali menghadap-Nya.
Kemudian khatib menyampaikan hadis Rasulullah ﷺ:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ