Saya tidak setiap pekan menunaikan salat Jumat di Masjid Darut Taubah, yang terletak di sekitar Bundaran Suci, Garut. Seperti kebanyakan orang, saya lebih sering berjamaah di masjid yang lebih dekat dari rumah. Namun, Jumat itu saya sengaja datang ke masjid ini—meskipun jaraknya lebih jauh—karena ada suasana istimewa yang selalu saya rasakan setiap kali shalat di sana.
Masjid Darut Taubah dikenal sebagai masjid yang menjunjung tinggi semangat toleransi dan ukhuwah. Berbeda dengan sebagian masjid yang cenderung mempertahankan khatib dari kalangan yang sama, kadang ada juga khatibnya tetap setiap jumatnya seperti masjid dekat rumah. Masjid ini membuka ruang seluas-luasnya bagi berbagai latar belakang. Tidak ada monopoli mimbar, tidak pula dominasi satu kelompok. Khatib yang mengisi berasal dari beragam kalangan: ada ulama tradisional, intelektual kampus, aktivis dakwah, hingga ustadz pondok pesantren. Semua diberi kesempatan, selama pesan yang disampaikan menyejukkan, mencerahkan, dan berlandaskan dalil yang kuat.
Tradisi Jumat Berkah pun rutin dijalankan. Seusai shalat Jumat, jamaah disambut dengan pembagian nasi kotak secara gratis, tanpa memandang asal usul. Semangat berbagi dan kebersamaan begitu terasa. Siang itu, saya pun berkesempatan duduk bersama pengurus DKM dan khatib muda sambil menikmati hidangan sederhana itu. Dari momen yang tampak biasa tersebut, terjalin keakraban dan ukhuwah yang tulus — bahkan dengan para khatib dari latar belakang berbeda.
Kunjungan saya kali ini terasa lebih berkesan karena khutbah yang disampaikan sangat menyentuh hati. Tema khutbahnya adalah rasa syukur atas nikmat kemerdekaan — namun bukan dari sudut pandang politik atau seremoni, melainkan dari sisi iman, amal, dan tanggung jawab moral sebagai hamba Allah dan warga bangsa.
Yang menarik, khatib hari itu adalah seorang pemuda. Wajahnya tenang, suaranya lantang, dan isi khutbahnya begitu menyentuh. Ia mengangkat tema syukur kemerdekaan yang sangat relevan di bulan Agustus, bulan di mana bangsa ini mengenang perjuangan para pendahulu dalam merebut kemerdekaan dari penjajahan.
Khutbah dibuka dengan firman Allah dalam Surah Ibrahim ayat 7:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu; tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
Khatib menjelaskan bahwa kemerdekaan adalah salah satu nikmat terbesar yang Allah anugerahkan. Namun, rasa syukur atas nikmat itu tidak cukup dengan ucapan, apalagi seremoni tahunan. Syukur sejati harus dibuktikan melalui penjagaan amanah, penegakan keadilan, dan menjauhi pengkhianatan terhadap rakyat maupun agama.
Selanjutnya, ia membacakan ayat reflektif dari Surah Ar-Ra’d ayat 11:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Ia mengutip penafsiran Imam Ath-Thabari, bahwa maksud ayat tersebut adalah: Allah tidak mencabut nikmat dari suatu kaum kecuali jika mereka sendiri mengganti ketaatan dengan kemaksiatan. Dan Allah tidak akan memberikan kebaikan kepada kaum yang zalim hingga mereka memperbaiki diri mereka sendiri.
Pesan ini terasa sederhana, namun sangat mendalam: jika bangsa ini ingin terus tumbuh dan diberkahi, maka perbaikannya harus dimulai dari dalam diri — dari hati yang jujur, niat yang lurus, dan amal yang nyata. Bukan semata mengganti pemimpin atau sistem, tetapi mengganti diri menjadi pribadi yang lebih bertakwa.
Sebagai penutup, khatib membacakan sebuah hadis yang sangat indah, diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كان رسول الله ﷺ إذا عمل عملاً أتقنه
“Rasulullah ﷺ apabila mengerjakan suatu pekerjaan, beliau menyempurnakannya dengan baik.”
(HR. al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman)
Hadis ini menjadi pengingat bahwa profesionalisme, kesungguhan, dan keikhlasan dalam bekerja adalah bagian dari nilai-nilai Islam. Maka, jika kita sungguh-sungguh ingin bersyukur atas kemerdekaan, bentuk terbaiknya bukan hanya peringatan setiap tahun, tetapi kerja nyata yang jujur, berkualitas, dan bertanggung jawab.
Saya meninggalkan masjid kecil itu dengan hati yang penuh renungan. Hari itu, Darut Taubah bukan sekadar tempat menunaikan shalat, tapi menjadi ruang perenungan batin. Saya kembali menyadari, bahwa kemerdekaan sejati adalah ketika hati kita terbebas dari kelalaian, dan hidup kita terikat kepada nilai-nilai ilahi. Meski kemerdekaan itu mungkin belum sepenuhnya kita rasakan, namun setidaknya kita sedang menuju ke arahnya — bersama-sama, dengan iman, ilmu, dan amal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI