Hari ini rakyat dihantui dua hal sekaligus: kenaikan pajak yang tiada henti, dan korupsi yang makin vulgar dan sistemik. Pemerintah butuh uang, tapi bukan untuk menyejahterakan, melainkan menambal kebocoran anggaran, membayar utang luar negeri, dan membiayai gaya hidup birokrasi yang tak kenal puas.
Ini bukan fenomena baru. Sejarah mencatat, ketika negara mulai menindas rakyat dengan pajak tinggi sembari membiarkan korupsi merajalela, maka itu adalah pertanda klasik keruntuhan peradaban. Mari kita tilik beberapa contohnya.
Imperium Bizantium: Pajak untuk Bertahan, tapi Rakyat Justru Hilang Harapan
Penerus Romawi di timur ini berjuang keras mempertahankan wilayah dan kekuasaan. Tapi salah satu kelemahan terbesar Bizantium adalah kebijakan fiskalnya: pajak yang tinggi dan membebani rakyat kecil.
Sementara itu, birokrasi yang korup membuat hasil pajak tidak pernah sampai sepenuhnya ke kas negara. Akibatnya, petani kehilangan tanah, kota-kota menyusut, dan rakyat enggan membela negara ketika musuh datang.
Bizantium akhirnya kehilangan banyak wilayah dan terus melemah hingga ditaklukkan oleh Turki Utsmani pada 1453.
Kekuasaan besar yang runtuh bukan karena kekuatan musuh semata, tapi karena rakyatnya sendiri sudah lelah dan apatis.
Kesultanan Delhi: Islam Pernah Berkuasa, Tapi Politik Rakus Merusaknya
Di abad pertengahan, India pernah diperintah oleh dinasti Islam yang kuat. Tapi di penghujung masa Kesultanan Delhi, korupsi merajalela. Para wazir dan pejabat lokal memungut pajak berlebihan untuk memperkaya diri, bukan untuk membangun negeri.
Krisis ekonomi menghantam. Masyarakat Muslim maupun Hindu sama-sama merasakan penderitaan. Keadilan hilang. Rakyat kecewa.
Tak lama, muncul gelombang serangan luar dan pemberontakan dalam negeri. Kesultanan runtuh, digantikan oleh kekuasaan baru yang lebih kejam: kolonialisme Inggris.
Revolusi Rusia: Rakyat Lapar, Elit Kenyang
Awal abad ke-20, Rusia masih bergantung pada sistem feodalisme. Pajak tinggi dibebankan pada petani miskin, sementara kaum bangsawan menikmati kekayaan dan kekuasaan. Ditambah korupsi yang mengakar di istana dan pemerintahan Tsar, jurang antara rakyat dan elit makin menganga.
Perang Dunia I memperburuk keadaan. Saat rakyat lapar dan kedinginan, para elit tetap berpesta. Akhirnya, rakyat meledak. Revolusi Bolshevik tahun 1917 menggulingkan rezim lama. Sistem monarki runtuh, digantikan oleh kekuasaan komunis.
Sri Lanka Modern: Utang, Pajak, dan Ambruknya Kepercayaan
Tak perlu jauh-jauh ke masa lalu. Sri Lanka memberi pelajaran segar. Dalam dekade terakhir, negara ini menaikkan pajak, mencetak utang luar negeri dalam jumlah besar, dan mengabaikan efisiensi anggaran.
Hasilnya? Proyek mercusuar mangkrak, uang negara hilang, korupsi tak terkendali. Rakyat menderita karena inflasi, krisis energi, dan kelangkaan pangan.
Puncaknya, rakyat mengepung istana presiden. Pemerintah runtuh. Ini adalah keruntuhan negara yang didahului oleh krisis keuangan dan korupsi.
Polanya Selalu Sama
Dari zaman Bizantium hingga era modern, pola kehancuran peradaban selalu mengandung tiga unsur berulang:
1. Pajak dinaikkan terus-menerus dengan dalih menyelamatkan negara.
2. Korupsi dibiarkan tumbuh, uang rakyat bocor ke kantong para elit.
3. Kepercayaan rakyat hilang, ekonomi lumpuh, dan negara kehilangan wibawa.
Dan ketika ada krisis besar — entah itu perang, bencana, pandemi, atau pemberontakan — sistem itu langsung ambruk, karena fondasinya sudah rapuh jauh-jauh hari.
Islam Punya Jawaban, Tapi Kita Terus Menutup Mata
Islam sesungguhnya memiliki sistem ekonomi dan pemerintahan yang bukan hanya adil, tapi juga terbukti aplikatif dalam sejarah. Dalam sistem Islam:
Pajak (dharabah) hanya diberlakukan kepada orang kaya, itupun dengan batas waktu tertentu, dan hanya saat kas negara kosong. Pajak dalam Islam bukan kewajiban permanen yang menjerat rakyat setiap hari.
Zakat, bukan pajak sembarangan, menjadi tulang punggung distribusi kekayaan. Ia dipungut dari umat Islam dan disalurkan tepat sasaran: kepada delapan golongan yang telah ditetapkan oleh Allah.
Sistem Islam tidak bergantung pada riba, tidak mencetak uang kosong tanpa nilai riil, dan tidak menyerahkan sektor-sektor vital—seperti air, energi, dan pendidikan—kepada korporasi swasta.
Kepemimpinan dalam Islam adalah amanah, bukan ajang dagang kekuasaan. Pejabat adalah pelayan umat, bukan pedagang proyek.
Sejarah pun telah mencatat, sistem Islam Kaffah yang murni menerapkan syariat Islam—mampu bertahan lebih dari seribu tahun. Bukan karena tentaranya hebat semata, tetapi karena keadilan ditegakkan, pelaku korupsi diberantas, dan rakyat diposisikan sebagai pemilik kedaulatan, bukan objek pungutan.
Akhir Kata: Kita Berdiri di Simpang Sejarah
Hari ini, kita menyaksikan pola yang makin familiar:
Pajak dinaikkan tanpa henti, sementara fasilitas publik memprihatinkan.
Korupsi makin terbuka, tapi rakyat terus diminta bersabar dan "positif thinking".
Utang negara menumpuk ribuan triliun, tapi elit politik sibuk berebut proyek dan panggung kekuasaan.
Apakah ini jalan menuju pembaruan? Ataukah kita sedang mempercepat kehancuran?
Yang pasti, sejarah telah menyediakan cermin—tinggal kita mau jujur melihatnya, atau terus menutup mata sambil berkata “semua baik-baik saja.”
Karena ketika pajak menjadi beban rakyat, sementara para penguasa terus berpesta, dan korupsi dibiarkan menjadi budaya—maka itu bukan lagi sekadar krisis ekonomi. Itu adalah tanda peradaban sedang menunggu waktu untuk runtuh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI