Publik kembali dihebohkan dengan pernyataan seorang pelaku penempatan tenaga kerja yang menyarankan rakyat Indonesia untuk bekerja ke luar negeri. Hal ini sontak menuai reaksi. Banyak yang bertanya-tanya: mengapa seolah-olah rakyat diarahkan untuk menjadi buruh di negeri orang, alih-alih dibuka peluang kerja yang manusiawi di tanah air sendiri?
Menteri Ketenagakerjaan pun segera memberikan klarifikasi. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak pernah memaksa rakyat bekerja ke luar negeri, melainkan mendorong peningkatan produktivitas tenaga kerja nasional.
Namun, di balik polemik itu tersimpan pertanyaan mendalam: mengapa bekerja ke luar negeri terasa lebih menjanjikan dibanding bekerja di negeri sendiri? Dan, apakah ini murni soal kesempatan, atau ada yang lebih dalam lagi?
Ketika Gengsi dan Sistem Tak Lagi Selaras
Sudah menjadi rahasia umum: banyak orang gengsi melakukan pekerjaan kasar di negeri sendiri, tetapi siap melakukannya di negeri orang. Jadi tukang cuci, pengangkut barang, hingga perawat lansia, tak masalah — asal di luar negeri. Kenapa? Karena dua hal:
1. Upah yang jauh lebih tinggi.
2. Persepsi sosial bahwa kerja di luar negeri lebih “terhormat”.
Padahal, dalam Islam, kemuliaan pekerjaan bukan ditentukan tempat atau jabatannya, tapi kehalalannya. Nabi ﷺ bersabda:
"Sebaik-baik makanan yang dimakan seseorang adalah dari hasil jerih payah tangannya sendiri." (HR. Bukhari)
Namun kini, persepsi masyarakat telah bergeser: halal tidak lagi cukup, jika tidak mendatangkan pengakuan sosial.
Fenomena Baru: Asalkan Upah Layak, Kerja Apa Saja Mau