Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Tua Pengundang Roh

12 Oktober 2018   15:52 Diperbarui: 13 Oktober 2018   12:36 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto:riauexpress.com)

1979

Di sebuah Kampung di pesisir Pantai Utara Jawa Barat.Sore itu, seorang perempuan tua dengan badan sedikit bongkok, selembar kain putih menutupi kepalanya berjalan tergesa-gesa menuju sebuah rumah.  Di rumah berdinding bilik bambu itu terdengar suara tangis anak  umur sekitar delapan tahun.

"Sejak semalam badannya panas, menggigil. Mulutmya ngigau, ngomong ora karuan." Ibu si anak itu menceritakan kondisi anaknya.

"Sudah dikasih obat?" Mak Arsih, demikian orang-orang kampung itu memanggilnya,  bertanya dengan logat jawa pesisir Utara Jawa Barat.

"Belum Mak."

"Coba saya periksa." Kata Mak Arsih sambil badannya mendekat anak itu dan tangannya menempelkannya di kening anak itu.

"Panas." Katanya dengan mimik yang datar.

"Tolong ambilkan tempat untuk kemenyan." Katanya lagi sambil muka dan matanya menoleh ke perempuan muda di sebelahnya.

Mak Arsih adalah orang yang terkenal di kampung itu dan di sekitar kampung tetangga. Ketika ada orang melahirkan biasanya Mak Arsihlah orang pertama yang dimintai tolong. Ia membantu Ibu-Ibu melahirkan  dan bahkan memandikan bayi itu sampai si Ibu bayi itu bisa memandikan dan mengurus anaknya sendiri.

Tidak hanya itu, Mak Arsih juga seorang yang pintar menyembuhkan anak yang sakit.  Tidak aneh jika warga kampung itu selalu meminta tolong Mak Arsih untuk mengobati anak-anak mereka yang sakit.

Terkadang, Mak Arsih hanya memegang bayi yang katanya sakit itu dan sedikit mengurutnya lembut dengan olesan minyak kelapa, si anak itu perlahan ceria kembali. Waktu itu belum ada mantri atau bidan yang mengobati masyarakat. Kalau pun ada harus pergi jauh ke kota kabupaten.  

"Ini sepertinya ada yang iseng." Kata Mak Arsih sambil mengeluarkan bungkusan plastik berisi kemenyan dari lilitan kain di perutnya.

"Maksud Emak?" Kata Ibu si anak itu.

"Iya, ini ada yang nyantel di badan anak ini." Kata Mak Arsih sambil meremas-remas kemenyan agar hancur menjadi butir-butir kecil seperti biji jeruk.

"Terus gimana Mak?" Kata si Ibu anak itu. Mukanya memperlihatkan kecemasan.

"Ya gak gimana-gimana." Kata Mak Arsih.

Mak Arsih menaburkan butir-butir kemenyan ke arang yang sudah membara. Asap pun membumbung memenuhi ruangan tengah rumah bilik itu. Asapnya memburu hidung siapa pun yang ada di rumah itu.

Bau kemenyan itu mengingatkan siapa pun tentang dunia roh, dunia jin, dunia setan gentayangan. Asap dan bau kemenyan itu seakan undangan resmi bagi para roh, jin, lelembut, setan atau makhluk sejenisnya untuk datang ke tempat itu.

Mulut Mak Arsih komat-kamit seperti sedang merapalkan jampi-jampi pengundang roh. Asap semakin tebal memenuhi rumah itu.

Tak beberapa menit kemudian, Mak Asih badannya bergetar. Jari-jari tangannya mencakar-cakar tikar pandan alas duduk yang disiapkan tuan rumah. Sorot matanya memancar seperti sorot mata harimau lapar. Suaranya mengeram bak suara singa diganggu anaknya.  Badannya rebah seperti harimau mengintip rusa untuk disergap.

Beberapa tetangga sudah berdatangan ingin menyaksikan Mak Arsih yang sedang bekerja.   Ayah dan seorang laki-laki tetangga berusaha memegangi tangan Mak Arsih. Mereka khawatir Mak Arsih yang sedang kerasukan akan mengamuk. Meski sudah tua, mak Arsih kalau sedang keraksukan dua orang lelaki bisa tak kuasa menjaganya.  

Beberapa Ibu-Ibu yang ikut menyaksikan kejadian di rumah itu  mundur beberapa langkah takut terkena amuk Mak Arsih.  

Seorang laki-laki, tetangga rumah,  yang sedari tadi sudah ada di tempat itu memberanikan diri bertanya kepada Mak Arsih.

"Mak ma'af, Mak siapa?"

"hemm.....hemm....saya bukan Mak!" Bentaknya. Suaranya persis suara harimau jantan.

"Saya Mbah!" Kata Mak Arsih yang sudah mulai kerasukan harimau dengan bahasa sunda.

"Oh...ma'af Mbah."

"Nah begitu."

"Kalau boleh tahu. Mbah ini siapa dan mau apa ada di sini?"

"hemm....hemm..." tangan dan tubuhnya meronta ingin melepaskan diri.

Untung dua laki-laki itu cukup kuat memegangnya.    

"hemm....saya tidak mau ditanya-tanya." Kata si Mbah dengan tangannya mencakar-cakar tikar.

"Lalu Mbah maunya apa?"

"hemm... Mbah mau bekakak ayam setengah matang."

"lalu apa lagi Mbah?" kata laki-laki itu.

"Kembang kenanga, kembang melati, kemenyan dan lemon." Kata si Mbah.

"Baik Mbah." Kata laki-laki itu. Ia meminta seorang Ibu yang masih kerabatnya si Ibu anak itu untuk menyiapkan apa yang diminta si mbah itu.

Tubuh si Mak Arsih itu meronta lagi. Tanganya berusaha melepaskan diri. Matanya melotot. Mulutnya menggeram seperti geramam macan.

"Cepat!" perintahnya.

"Ma'af, Mbah. Sambil menunggu apa-apa yang diminta Mbah apakah kami boleh bertanya?"

"hemm...." kepala si Mbah itu menggeleng." Tampaknya ia tidak mau ditanya dulu sebelum permintaannya dipenuhi.

"Mana bekakaknya?" Matanya melotot hampir keluar.

"Sebentar Mak eh Mbah." Kata laki-laki yang memeganginya.

"Hemm.....saya sudah lapar."

"Sabar Mbah. Sedang disiapkan."

"Saya sudah tidak tahan." Katanya sambil meronta untuk kesekian kalinya.

Tak lama kemudian si Ibu yang mencari makanan yang diminta si Mbah datang. Sambil membawa makanan yang diminta si Mbah.

Si Bapak yang sedari tadi bicara dengan si Mbah memberikan bekakak ayam kepada si Mbah.

"Mbah.....ini bekakaknya." Sambil menyodorkan ayam kampung utuh yang dibakar setengah matang. Dengan secepat kilat si Mbah menyambar dari tangan laki-laki itu dan langsung melahapnya. Tak ada sedikit pun yang tersisa.      

"Mana lagi? Si Mbah meminta lagi sambil matanya melotot.

"ini Mbah." Laki-laki itu memberikan kembang kenanga, melati dan kemenyan.

itu pun direbutnya dan langsung dimakannya, ludes!

"Mana lagi?"

"Ini Mbah, lemon."

Ia langsung merebut dan menenggaknya sampai tetes terakhir.

"Mana lagi?"

"Sudah habis Mbah." Sambil tetap memegangi tangan Mak Arsih.

"Kalau boleh tahu. Mbah ini siapa dan mau apa ada di sini?" Kata si lelaki itu mengulang pertanyaannya  yang belum dijawab.

"hemm...saya adalah penghuni pohon besar di dekat kuburan itu." Jarinya sambil menunjuk entah kemana. Tidak jelas.

"Mengapa sekarang ada di sini?"

"Tidur saya terganggu oleh anak kecil ini. Kepala saya dikencingi. Bau jengkol lagi." Kata si Mbah menjelaskan alasannya ada di tubuh anak kecil itu.

"Oh begitu. Ma'afkan anak saya Mbah kencing sembarangan."

"kasih tahu anak itu kalau kencing jangan sembarangan." Kata si Mbah mulai pelan bicaranya.

"Mbah...sekarang sudah jelas masalahnya. Silakan Mbah pulanglah ke rumah Mbah."

"hemmm.... gak mau!"

"Lho!...kenapa Mbah?"

"Di sini enak banyak makanan." Kata si Mbah.

"Tidak bisa begitu Mbah. Kasihan anak itu."

"Saya minta minum darah ayam!." Katanya.

"Tidak!. Saya tidak akan menyediakan darah ayam?"

Si Mbah mulai ngamuk lagi. Tapi laki-laki itu tidak mau memberinya.

"sekarang begini saja. Kalau Mbah tidak mau pergi terpaksa saya menggunakan kekerasan." Kata laki-laki itu. Sambil mengibas-ngibaskan sapu lidi dan membacakan ayat kursi beberapa kali.

"ampuuun...ampuuun...." Kata si Mbah.

"Kalau ampun enyahlah dari tubuh anak ini dan jangan sekali-kali datang lagi." Kata laki-laki itu mengancamnya.

Tubuh Mak Arsih mengkurut seperti orang ketakutan.

"Pergi-pergi dan jangan kembali!"

Tubuh Mak Arsih mengejang dan akhirnya ambruk. Tak sadarkan diri.

Beberapa sa'at kemudian Mak Arsih bangun. Terus meminta minum. Telihat sangat cape sekali  tubuhnya. Sementara anak kecil yang tadi panas badannya sudah kembali normal.

Acara pengobatan sudah selesai. Mak Arsih pamit pulang. Tak lupa si Ibu anak kecil tadi membawakan seliter beras untuk mak Arsih sebagai ucapan terima kasih telah menolong anaknya dari gangguan roh jahat.

Ketika jelang lebaran Idul Fitri. Anak-anak yang sekarang sudah besar dan waktu bayi diurus dan diobati oleh Mak Arsih memberikan zakat fitrahnya kepadanya sebagai bentuk ucapan terima kasih.  

***        

Setelah beberapa tahun kemudian. Mak Arsih meninggal dunia. Semua orang kampung merasa kehilangan. Sekarang tidak ada lagi orang yang membantu proses melahirkan, memandikan bayi, membedongnya dan mengobati anak-anak yang sakit.

Sekarang zaman modern. Masyarakat sudah beralih ke bidan, mantri dan dokter untuk mengurus segala urusan persalinan dan kesehatan anak-anak dan keluarganya. Cara bayarnya pun sudah tidak memakai beras lagi. ()

Jakarta, 12 Oktober 2018  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun