Dengan ketus saya menjawab lelaki itu, namun orang itu tidak mengeluarkan kemarahan atas sikap saya.Â
Bahkan dia berpesan agar saya menyampaikan pesan ke suami, kalau besok pagi ditunggu di kantor, untuk menandatangani surat perjanjian kerja.
Ya, lelaki itu menyampaikan pada saya, kalau suami saya diterima sebagai dosen di lembaga pendidikannya.Â
Kabar gembira dari lelaki itu tidak saya tanggapi dengan bahagia, karena saya masih menganggap dia telah mengganggu waktu saya.Â
Sesaat setelah lelaki itu menutup telpon, saya menggerutu, kecewa dan masih marah, karena yang saya butuhkan adalah uang Rp 200 ribu, bulan telepon.Â
Selang beberapa menit, suami pun pulang, namun sebelum saya ceritakan telpon itu, saya menanyakan hasil yang sudah diperoleh suami.
Berjam-jam mencari hutangan, dari orang tuanya, kakaknya sampai tantenya, semua tidak ada yang bisa membantu.Â
Akhirnya, di tengah kekecewaan dan kemarahan, saya bercerita kalau saya semakin marah karena ada lelaki yang menelpon dengan nada seperti banci.Â
Cerita saya tentang lelaki itu justru membuat suami saya tersenyum, namun saya malah semakin marah dan curiga.Â
Suami mulai  tersadar, kalau yang saya dan suami lakukan saat mengatasi masalah itu salah, karena hanya berfokus pada uang Rp200 ribu.
Saya dan suami tidak berfokus pada Tuhan, lupa kalau Tuhan sanggup menolong dengan cara yang berbeda dan ajaib.Â