Mohon tunggu...
mama konan
mama konan Mohon Tunggu... -

Ibu dua orang putri/a yang juga bergiat di bidang pendidikan sebagai pengajar. Dari kecil suka main sekolah-sekolahan, sekarang bermimpi meraih puncak karir sebagai pengajar...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cinta dari si tangan mungil

8 Februari 2010   02:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:02 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ceritanya sore itu aku lagi menemani bungsuku main di sungai Lematang, sungai yang terkenal di daerah Lahat Sumatera Selatan, ketika kami berkesempatan mampir ke sana dalam perjalanan menuju Jakarta. Sementara bapaknya sibuk mencuci mobil. Jangan heran sungai Lematang memang sering dimanfaatkan warga Lahat selain untuk bercengkrama di sore hari juga sebagai tempat mencuci mobil di pinggiran sungainya.

Agak ke tengah banyak terdapat batu-batu besar yang bisa dijadikan tempat duduk dan bercengkrama di tengah derasnya air, beruntung air sungai tidak dalam, hanya setinggi paha orang dewasa, justru derasnya aliran alir yang memberi semangat anak-anak bermain.

Asyik sekali kami bermain, sembur-semburan air, menumpuk batu, tertawa riang tidak peduli baju yang basah hingga pakaian dalam. Bungsuku ingin duduk di pangkuanku di atas sungai, aku mengambil posisi di atas batu. Damai sekali duduk berdua dengan anak di atas batu di tengah sungai memandang ke atas melihat luasnya langit, tangan dan kaki seperti dipijat oleh derasnya air.

Merasa pandangan mata terhalang kacamata yang berkabut, maka kubuka kacamata dan kuletakkan di atas kepala. Ketika merubah posisi tanpa sengaja tiba-tiba kacamataku jatuh dan hilang seketika dalam gulungan air sungai Lematang yang cukup deras. Sia-sia kugapai, rasa panik muncul, sepersekian detik tanganku mencari-cari, menggapai di bawah air berharap terpegang kacamata. Orang-orang mulai bertanya, ketika tahu aku kehilangan kacamata, mereka yang sedang main air, berinisiatif turut mencari. Belum ada hasil, kacamataku belum ditemukan.

Ada bapak-bapak yang sedang menjala ikan, tergerak membantu dengan nebar jalanya beberapa kali di setiap sudut dari posisi tempat jatuh, bahkan sudah agak jauh dari posisi semula. Harap-harap cemas menunggu.... dengan minus tiga begini, kehilangan kacamata bukan hal yang mudah. Terbayang sudah kerepotan beraktifitas tanpa benda itu selama perjalanan liburan ini. Dari yang semula hanya tangan saja yang menggapai, sekarang aku sudah menyelam. Kepala masuk ke dalam air mencoba melihat di dasar sungai, hampir satu lingkaran penuh  dari posisi tempat jatuhnya kacamata sudah kuselami.

Kulihat bapak yang menjala tadi geleng-geleng kepala, "Susah bu,,, sudah terbawa air,  kalo memang masih ada di sekitar sini pasti sudah terjaring" katanya sambil melipat jala, menyerah. Ternyata cukup lama juga  pencarian ini, beberapa orang sudah berjalan mengikuti arah arus sungai.

Melihat gelagat akan berhentinya pencarian, aku makin nekad menyelam memasukkan kepala berulang-ulang dan mencoba membuka mata dalam air. Kulakukan berulang-ulang rasanya tak rela kehilangan kacamata semudah itu, aku berharap dengan melihat usahaku yang lain akan gigih kembali mencari. Tapi sia-sia satu persatu mulai menuju ke pinggir sungai. Aku mencoba tidak putus asa,,,, menggapai, menyelam, kaki meraba, terus,,, terus menyibak air dengan sia-sia....

Di tengah putus asa bungsuku yg ternyata tanpa kusadari ikut mencari dan meraba-raba di antara batu dalam air yang deras, menghampiriku ada sesuatu di tangannya yang disembunyikan di balik punggung. Aku berhenti menggapai, sekilas kulihat bibirnya  bergetar kedinginan,

"Mi ada hadiah buat Mami biar gak sedih" katanya sambil mengulurkan tangannya.

Kulihat ada sebuah batu seukuran telapak tangan orang dewasa di telapak tangannya yang kecil dan terlihat putih karena lama terendam air. Batu itu berbentuk ‘love’ berwarna hitam pekat. Asli batu gunung bukan buatan tangan yang dikikir hingga berbentuk hati. Batu ini ternyata secara tidak sengaja terambil olehnya dari dasar sungai Lematang.

Sekejap rasa kehilangan kacamata lenyap aku terpana menatap ketulusan mata anakku seolah-olah mata itu berkata....ikhlaskan....  "He gave his heart for me". Aku tergugu dengan tangan kecilnya mengajarkanku untuk ikhlas. Kupeluk bungsuku yang mulai kedinginan, bersama-sama kami menggapai pinggiran sungai Lematang. Kuikhlaskan kacamataku bersemayam di dasar Lematang, sebagai gantinya kugenggam erat batu hitam berbentuk love, terasa hangat di dada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun