"Only in a public sphere subject to the requirements of communicative rationality can public opinion be formed that is inclusive and rational." (Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere, 1962)
Proses pembentukan Undang-Undang Cipta kerja (Omnibus Law) membuktikan adanya keretakan serius dalam praktik demokrasi Indonesia. Demi mendorong iklim investasi dan menyederhanakan regulasi, pemerintah dan DPR justru mengabaikan prinsip transparansi, partisipasi publik, dan akuntabilitas yang menjadi fondasi demokrasi deliberatif. UU Cipta Kerja lahir bukan semata karena kebutuhan teknokratis atau niat murni reformasi birokrasi, melainkan sangat dipengaruhi oleh struktur kekuasaan oligarkis, dorongan pertumbuhan ekonomi instan, serta minimnya kontrol dan partisipasi publik dalam prosesnya.
Dalam demokrasi deliberatif, ruang publik adalah tempat bagi warga negara untuk berdialog dalam mengritik dan terlibat aktif dalam proes pengambilan keputusan politik. Namun, pada kasus Omnibus Law, prinsip-prinsip tersebut tampaknya diabaikan. Bukannya terbuka dan partisipatif, proses legislasi malah berjalan cepat, tertutup, dan nyaris eksklusif yang hanya melibatkan pemerintah dan elite politik.
Legislasi yang Tertutup dan Sentralistik
Sejak awal, prose pembentukan RUU Cipta kerja sudah menuai kritik karena dilakukan tanpa transparansi. Draf yang tidak segera dipublikasikan, pembahasan yang terburu-buru, dan minimnya ruang konsultasi publik menunjukkan bahwa proses ini lebih berpihak pada efisiensi birokrasi ketimbang kualitas demokrasi. Bahkan pada beberapa kesempatan, draf final yang disahkan berbeda dari versi yang sebelumnya telah beredar, menimbulkan kebingungan dan ketidakpercayaan.
Bahkan aktor-aktor masyarakat sipil temasuk serikat buruh, LSM lingkungan, dan akademisi tidak diberi ruang yang cukup untuk terlibat. Ini menunjukkan adanya ketidakpedulian terhadap prinsip deliberatif, yang mengutamakan keterlibatan rasional dan setara dalam proses pembuatan keputusan publik. Â Pemerintah tampaknya lebih memilih jalur teknokratis dan sentralistik, yang justru menjauhkan demokrasi dari rakyatnya sendiri.
Dampak Langsung terhadap Hak Buruh
Secara substansi, banyak pasal dalam UU Cipta Kerja yang dianggap melemahkan hak-hak buruh. Fleksibilitas kerja, pengurangan pesangon, perluasan sistem outsourcing, hingga penghapusan cuti tertentu menjadi titik penting yang memicu gelombang protes dari kalangan pekerja. Serikat buruh merasa diabaikan dan dikorbankan demi kenyamanan kaum elite. Hal tersebut memperkuat kesan bahwa negara mengalami bias kelas yang lebih mengutamakan investor dibanding keadilan sosial. Itu juga membuktikan bagaimana kebijakan publik akan cenderung berpihak pada kepentingan kelompok tertentu yang lebih kuat secara ekonomi dan politik jika melalui proses deliberasi yang tidak sehat.
Media: Dari Watchdog Menjadi Corong Kekuasaan
Dalam teori demokrasi, media memegang peran sentral sebagai watchdog, pengawas kebijakan publik dan pengendali kekuasaaan. Namun dalam praktiknya, banyak media arus utama justru menjadi corong wacana resmi negara. Alih-alih bersikap kritis, mereka terkesan menyuarakan kepentingan penguasa dan elite bisnis yang mendukung RUU ini. Framing pemberitaan yang minim kritik, serta dominasi narasi positif terhadap RUU Cipta Kerja, menjadi indikasi kuat bahwa independensi media sedang mengalami kekacauan.
Beberapa media besar bahkan dimiliki oleh aktor politik dan pengusaha yang berkepentingan langsung terhadap undang-undang ini. Ketika media tidak lagi menyuarakan kepentingan publik, maka ruang publik kehilangan salah satu penopang terpentingnya. Sebagai respons, banyak publik kemudian beralih ke media sosial untuk menyuarakan protes. Meski ini menunjukkan ketangguhan publik dalam mencari alternatif ruang, kita tidak bisa mengabaikan risiko disinformasi dan polarisasi yang juga berkembang di media sosial.
Oligarki dan Politik Eksklusif
Krisis dalam proses legislasi ini juga tidak bisa terlepas dari dominasi oligarki dalam politik Indonesia. Para pengusaha yang merangkap jadi politisi, atau sebaliknya, memainkan peran besar dalam penyusunan regulasi strategis seperti UU Cipta Kerja. Akibatnya, kepentingan ekonomi-politik elite seringkali lebih diutamakan ketimbang kebutuhan rakyat banyak. Ini merupakan bentuk klasik dari state capture di mana kebijakan publik dibajak oleh kelompok yang memiliki kekuatab finansial dan akses politik. Demokrasi prosedural tetap berjalan dengan adanya DPR, legislasi, pemilu, tetapi substansi demokrasi, yakni keterwakilan rakyat dan deliberasi publik, menjadi kosong.
Hal ini menunjukkan bagaimana akumulasi kekuatan ekonomi dan politik menciptakan ketimpangan dalam proses pengambilan keputusan. Aktor-aktor dengan sumber daya besar dapat dengan mudah memengaruhi arah legislasi, sementara kelompok masyarakat yang lemah secara struktural semakin tersingkir dari politik. Ketimpangan ini tidak hanya mencederai prinsip keadilan, tetapi juga melemahkan legitimasi demokrasi itu sendiri. Dalam situasi seperti ini, partisipasi rakyat menjadi seremonial semata, sementara substansi kebijakan terus dikndalikan oleh kepentingan para elite.
Runtuhnya Demokrasi DeliberatifÂ
Akhir dari semua ini adalah keruntuhan demokrasi deliberatif itu sendiri. Ketika ruang publik disempitkan, media kehilangan independensinya, dan suara rakyat tidak didengar, maka yang tersisa hanyalah formalitas dalam demokrasi. Gelombang demonstrasi yang meluas pada tahun 2020 dan sesudahnya merupakan bentuk perlawanan terhadap proses politik yang tidak lagi merepresentasikan kepentingan warga negara.
Seperti yang dikemukakan oleh Habermas, ruang publik seharusnya menjadi tempat rasional-komunikatif, di mana berbagai aktor bisa berdebat secara setara untuk membentuk kehendak bersama (public will). Namun dalam kasus RUU Cipta Kerja, ruang ini dirampas oleh oligarki dan kekuasaan yang tidak terbuka terhadap kritik, sehingga proses diskursif yang seharusnya inklusif berubah menjadi mekanisme sepihak yang meminggirkan partisipasi publik.
Demokrasi yang sehat bukan hanya tentang siapa yang menang pemilu, tetapi juga siapa yang didengar, siapa terlibat dalam pengambilan keputusan, dan siapa yang mendapatkan ruang bicara. Kasus RUU Cipta Kerja telah menunjukkan bahwa demokrasi kita sedang berada dalam krisis ruang publik. Kini, tantangannya bukan sekadar menolak sebuah undang-undang, tetapi merebut kembali ruang deliberatif, menuntut media agar kembali independen, dan membangun demokrasi yang benar-benar inklusif. Jika tidak, maka demokrasi hanya akan menjadi panggung kosong yang dikendalikan segelintir elite, sementara suara rakyat terus dibisukan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI