Â
Apakah kamu penggemar kuliner dari sate klathak? Kuliner ini telah digandrungi banyak kalangan mulai dari anak-anak hingga orang tua. Di antara sekian banyaknya penjaja sate, nama sate klathak Pak Pong tetap eksis hingga saat ini. Berlokasi di Bantul, sate klathak Pak Pong menciptakan keterpaduan rasa yang konsisten hingga kini. Semboyannya mengatakan bahwa "belum ke Jogja jika belum datang ke sate Klathak Pak Pong" telah menjadi ikon kuliner di Bantul Yogyakarta. Aroma lezat dari sate yang dibakar dengan bara arang menambah cita rasa dan sensasi kuliner yang memanjakan lidah.
Penamaan warung "Pak Pong" memiliki kisah tersendiri di baliknya. Pak Pong, sebetulnya bukan nama asli dari pemilik warung sate Klathak yang melegendaris. Pemilik warung sate yang menjadi tujuan utama wisata Jogja ini, bernama Zakiron. Terinspirasi dari masa kecil Bapak Zakiron yang terbiasa tidur dengan posisi mulut terbuka atau njempong dalam bahasa Jawa, kemudian diambil suku kata terakhir yaitu "pong". Barulah nama warung "Pak Pong" tercipta. Melalui nama inilah, kini justru menjadi identitas terkemuka bagi sederet warung sate klathak yang ada di Yogyakarta.
Kuliner sate Pak Pong senantiasa bersemi dari masa ke masa. Warung ini telah berdiri sejak tahun 1997 silam dan masih tetap bertahan hingga sekarang. Olahannya menyimpan rasa otentik yang tak lekang dimakan zaman. Nama Pak Pong semakin berkibar dan melegenda di mata para pecinta sate. Warung sate ini telah memiliki 3 cabang yang berlokasi di Sultan Agung, Wonokromo, dan Imogiri. Ketiga cabang tersebut selalu ramai pembeli setiap harinya. Keunikannya dalam memainkan peranan bumbu-bumbu dan penyajian yang tak biasa, menjadikan para wisatawan domestik hingga mancanegara berbondong-bondong datang sebagai tujuan kuliner yang pertama.
Bukan sekadar sate kambing biasa pada umumnya. Rasa dan tampilan yang khas telah menawarkan sensasi unik tersendiri. Di era gempuran inovasi kuliner modern, Pak Pong tetap mempertahankan kualitas resep turun-temurun yang diperolehnya dari belajar kepada sang kakek. Pak Pong menggunaan variasi bumbu sederhana namun kaya akan rempah Indonesia. Seperti misalnya penggunaan merica, bawang putih, bawang merah, ketumbar, dan jahe. Misalnya sate klathak disajikan dengan kuah gulai yang kental dengan citarasa gurih asin. Satu porsi sate klathak terdiri dari 2 tusuk sate dengan potongan daging yang cukup besar.
Perbandingannya dengan menu sate kambing bumbu kecap, terletak pada kuah sate yang digunakan serta olesan kecap yang lebih dominan daripada sate klathak. Jika memesan sate bumbu kecap, makan akan disuguhkan seporsi sate lengkap dengan bumbu kecap, irisan bawang merah dan potongan lalapan. Bagi pengunjung yang memiliki selera pedas, juga dapat menambahkan racikan bumbu berupa merica bubuk atau potongan cabai rawit. Dari rasanya yang memikat selera, maka tidaklah heran jika para konsumen selalu rela menunggu antrian panjang demi mendapatkan seporsi sate.
Sate klathak yang menjadi ikon wisata kuliner di Bantul Yogyakarta ini, juga memiliki filosofi dalam penamaannya. Sate klathak menjadi primadona di buku menu Pak Pong. Penamaan sate klathak ini bermula dari potongan daging kambing yang dibumbui bawang putih, garam, dan sedikit olesan kecap manis kemudian dibakar menghasilkan letupan bunyi "klathak klathak klathak" pada tempat pembakaran. Itulah yang menjadi filosofi penamaan menu sate klathak Pak Pong.
Keunikan sate ini juga terlihat dari cara penggolahannya. Sate kambing pada umumnya ditusuk dengan menggunakan bambu, tetapi berbeda dengan sate klathak Pak Pong yang memiliki cara anti mainstrem dalam penggolahannya. Bagaimana tidak? Penggunaan tusuk berupa jeruji besi seperti yang mirip digunakan pada ban sepeda telah terbalut dengan potongan daging kambing. Bagi sebagian orang yang belum terbiasa menggunakannya, tentu terkesan tidak lazim atau bahkan merasa tidak akan aman ketika menggigitnya. Akan tetapi, penggunaan tusuk besi ini telah memenuhi standar kuliner yang diizinkan.
Tusuk yang digunakan dibuat secara khusus dengan ukuran yang tidak telalu besar dengan bagian atas sedikit lancip dan bagian bawah melengkung. Tujuannya agar konsumen tetap dengan mudah memegang dan mengigit dagingnya. Serta saat proses pemanggangan, tusuk tidak akan mudah hangus terbakar yang kemudian akan patah. Penggunaan tusuk besi ini juga dapat meminimalisir penggunaan sampah berupa tusuk bambu sekali pakai.
Filosofi dibalik penggunaan tusuk berupa jeruji besi, dimaksudkan agar proses pematangan daging dapat merata hingga pada serat-serat dalam, tentu hal ini akan berpengaruh pada citarasa. Sebab panasnya bara api bertemu dengan tusuk besi dapat menghantarkan panas dengan waktu yang lebih cepat. Terlebih lagi, pemilihan daging yang digunakan adalah jenis kambing yang masih muda, sehingga rasanya masih juicy namun tetap kaya akan bumbu dan matang sempurna. Selain itu, dalam pemotonganya pun dipotong dengan teknik satu arah mengikuti serat daging. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir bau tidak sedap dari  daging kambing yang belum diolah. Berdasarkan teknik pengolahan yang unik, pengunjung tidak perlu khawatir apabila sate yang dikonsumsi akan terasa keras.