Mohon tunggu...
I Nengah Maliarta
I Nengah Maliarta Mohon Tunggu... Pengacara - Pluralism

Indonesian

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dalam Warisan, Surat Wasiat atau Ketentuan Undang-Undang yang Harus Didahulukan?

26 Juni 2020   11:40 Diperbarui: 15 Januari 2021   09:23 1916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Untuk menghindarkan perselisihan di dalam sebuah keluarga, orang tua sebagai pemilik dari segala harta benda yang kelak akan diberikan atau diwariskan kepada anak-anaknya selaku ahli waris biasanya membuat suatu pembagian dalam bentuk surat wasiat. Surat wasiat atau yang biasa disebut juga dengan testamen adalah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali.

Di dalam masyarakat Indonesia khususnya di daerah kelahiran penulis yaitu Bali, membicarakan surat wasiat apalagi surat wasiat tentang pembagian harta benda masih merupakan sesuatu yang sifatnya tabu. Karena membicarakan surat wasiat sama saja dengan membicarakan kematian seorang yang masih hidup, khususnya pewaris dan umumnya adalah orang tua.

Namun apabila terdapat surat wasiat yang mengatur pembagian warisan dari pewaris / pemberi wasaiat yang telah dikehendaki olehnya semasa hidupnya sementara di sisi yang lain terdapat ketentuan undang-undang yang mengatur mengenai hal ihwal warisan, lalu ketentuan yang manakah harus didahulukan ?

BERIKUT ULASANNYA:

Ketentuan Pasal 874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) mengatur bahwa "segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang-undang, sekadar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambilnya sesuatu ketetapan yang sah."

Artinya, menurut ketentuan undang-undang segala harta peninggalan (warisan) dari seorang yang meninggal, sepenuhnya adalah menjadi hak para ahli waris sepanjang pewaris tidak menentukan lain dalam suatu ketetapan yang sah berupa surat wasiat. Sehingga apabila terdapat surat wasiat yang ditinggalkan oleh pewaris maka harta peninggalan tadi tidak lagi sepenuhnya menjadi hak sekalian para ahli waris saja, namun terdapat pula ketentuan dari surat wasiat yang harus diperhatikan.

Namun demikian, walaupun surat wasiat memuat "kehendak-kehendak pewaris" semasa hidupnya, pewaris tidak bisa mewasiatkan seluruh harta kekayaannya yang masuk ke dalam bagian mutlak / legitime portie ahli waris. Bagian mutlak atau legitime portie adalah sebagian dari seluruh harta benda peninggalan yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal (pewaris) tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah / pemberian antara orang-orang yang masih hidup maupun sebagai wasiat.

Pasal 914 KUHPer menentukan legitime portie atau bagian mutlak ahli waris, sebagai berikut:

  1. Ahli waris anak yang sah (termasuk keturunannya dalam derajat ke berapa pun, namun dihitung sebagai ahli waris pengganti dari ahli waris awal):
    - Apabila pewaris hanya meninggalkan 1 (satu) orang anak sebagai ahli waris maka bagian mutlaknya adalah 1/2 (satu per dua) dari seluruh harta warisan.
    - Apabila pewaris meninggalkan 2 (dua) orang anak sebagai ahli waris maka bagian mutlaknya adalah 2/3 (dua per tiga) dari seluruh harta warisan.
    - Apabila pewaris meninggalkan 3 (tiga) orang anak atau lebih sebagai ahli waris maka bagian mutlaknya adalah 3/4 (tiga per empat) dari seluruh harta warisan.
  2. Ahli waris dalam garis lurus ke atas (orang tua / kakek / nenek, dst)
    Bagian mutlaknya adalah masing-masing 1/2 (satu per dua) dari seluruh harta warisan.
  3. Ahli waris anak luar kawin yang sah
    Bagian mutlaknya adalah masing-masing 1/2 (satu per dua) dari seluruh harta warisan.

Surat wasiat sebagai pengecualian ketentuan undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta atau surat tertulis lengkap dengan tanda tangan pembuatnya, wasiat tidak bisa dibuat secara lisan. Walaupun harus dibuat dalam bentuk akta atau surat tertulis, namun tidak ada ketentuan baku yang mensyaratkan surat wasiat tersebut harus dibuat dalam bentuk akta otentik (dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang berwenang / notaris) atau akta di bawah tangan (dibuat dan ditandatangani sendiri oleh pembuat wasiat).

Keduanya sama-sama diperbolehkan, namun pada prakteknya lebih disarankan surat wasiat dibuat dalam akta otentik atau dibuat oleh dan di hadapan notaris, hal tersebut karena akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Apabila surat wasiat dibuat di bawah tangan, biasanya masih memerlukan otentikasi dari notaris, yang kemudian akan disimpan dan dibuatkan akta penyimpanan serta mendaftarkannya ke Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) pada Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia bagian wasiat.

Surat wasiat dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk, berikut adalah bentuk-bentuk Surat Wasiat tersebut:

  1. Surat Wasiat Olografis, yaitu surat wasiat yang ditulis dan ditandatangani sendiri oleh pemberi wasiat dalam bentuk akta di bawah tangan, kemudian diserahkan kepada notaris untuk dibuatkan akta penyimpanan yang ditandatangani lagi olehnya bersama notaris dan saksi-saksi. Surat wasiat ini bisa dibuat secara terbuka, artinya notaris bisa membuka dan memahami seluruh isi wasiat kemudian memberikan keterangan mengenai penyimpanan tersebut di bagian bawah wasiat tersebut. Namun bisa juga dibuat secara tertutup, artinya notaris tidak bisa membuka dan memahami isi wasiat tersebut, notaris hanya bisa mendengar keterangan yang disampaikan oleh pemberi wasiat kemudian membuatkan akta penyimpanan secara terpisah perihal penyimpanan wasiat tersebut.
  2. Surat Wasiat Rahasia, surat wasiat ini hampir sama dengan surat wasiat olografis namun surat wasiat ini sifatnya rahasia atau tertutup. Surat wasiat rahasia ditulis dan ditandatangani sendiri oleh pemberi wasiat, kemudian diserahkan kepada notaris untuk dibuatkan akta penyimpanan di hadapan 4 (empat) orang saksi yang disertai dengan keterangan bahwa di dalam surat tersebut memuat surat wasiat yang dibuat dan ditandatangani olehnya sendiri.
  3. Surat Wasiat Umum, surat wasiat ini dibuat oleh di hadapan notaris atau yang sebelumnya disebut sebagai akta otentik, yaitu pemberi wasiat datang sendiri ke kantor notaris untuk menerangkan apa saja yang akan ia muat di dalam surat wasiatnya. Kemudian notaris akan menulis apa-apa saja yang disampaikan pemberi wasiat, kemudian notaris bersama-sama pemberi wasiat dan 2 (dua) orang saksi menandatangani surat wasiat itu.

Surat wasiat setidak-tidaknya harus memuat pernyataan dari pemberi wasiat tentang apa saja yang ia kehendaki akan terjadi ketika dirinya meninggal termasuk harta apa saja yang dimiliki dan akan di wasiatkan (objek), siapa-siapa saja yang menjadi penerima wasiat (subjek) beserta bagiannya masing-masing dan menentukan siapa yang akan ditunjuk untuk melaksanakan surat wasiatnya tersebut.

Surat wasiat yang sudah dibuat tersebut masih bisa dicabut apabila pemberi wasiat menghendakinya. Pencabutan tersebut bisa dilakukan secara tegas maupun secara diam-diam. Pencabutan secara tegas berarti pemberi wasiat membuat surat wasiat baru sebagai pengganti surat wasiat yang akan dicabut dengan menyertakan keterangan bahwa surat wasiat baru tersebut sekaligus mencabut surat wasiat yang sebelumnya sehingga tidak berlaku lagi.

Kemudian pencabutan secara diam-diam terjadi apabila pemberi wasiat hanya membuat surat wasiat baru sebagai pengganti surat wasiat yang lama namun tidak menyertakan keterangan bahwa surat wasiat yang baru tersebut mencabut surat wasiat yang terdahulu. Namun, walaupun tidak disertakan keterangan pencabutan, apabila sudah ada surat wasiat baru maka secara hukum surat wasiat yang lama otomatis menjadi gugur.

Tidak ada ketentuan baku yang mengatur mengenai format surat wasiat, undang-undang pun tidak ada mengatur secara pasti , namun secara umum surat wasiat minimal berisi keterangan-keterangan berupa:

  1. Identitas pemberi dan penerima secara jelas (minimal sesuai ktp);
  2. Obyek wasiat atau benda-benda yang akan diwasiatkan (harus jelas sesuai dengan dokumen benda tersebut. Misalnya sebidang tanah, antara tanah dan surat-surat berupa sertifikat tanah tersebut harus sesuai);
  3. Pencabutan wasiat sebelumnya (apabila surat wasiat yang dibuat adalah surat wasiat pengganti surat wasiat terdahulu, maka sebaiknya dicantumkan keterangan pencabutan);
  4. Pelaksana surat wasiat;
  5. Saksi-saksi; dan
  6. Tanda tangan (semua pihak).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun