Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Guru Mesti Netral, Tapi Bukan untuk yang Ini

1 Juli 2014   21:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:57 902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guru, sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang dipercaya menjadi pelayan masyarakat memang sepatutnya netral. Netral dalam arti tidak berkecimpung dalam dunia politik. Selain tidak boleh berkecimpung dalam dunia politik, para abdi negara ini pun tidak diperkenankan menjadi tim sukses, partisan atau menjadi anggota partai politik tertentu. Sehingga sewajarnya tindak-tanduk para guru pun harus menghormati dan menghargai aturan baku yang ditetapkan oleh pemerintah. Dampaknya, siapapun yang dengan sengaja dan diketahui melakukan tindakan melanggar hukum maka hukum yang akan berlaku. Dan sepatutnya siapapun yang mengetahui tindakan tersebut agar segera melaporkan pada Bawaslu atau Panwaslu sebagai lembaga yang mengawasi jalannya hajat demokrasi di negeri ini.

Sebagaimana termaktub dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, serta Undang-undang nomor 53 Tahun 2010 bahwa setiap pegawai (PNS) harus menjaga netralitas dalam Pemilu. Undang-undang ini sangat jelas dan transparan bahwa siapapun yang keluar aturan dan melanggar undang-undang ini akan ditindak tegas.

Selain guru-guru yang semestinya menghargai netralitasnya, para kompetitor Pilpres pun sejatinya tidak menyusupi para guru ini dengan aneka kampanye. Baik secara lisan maupun tertulis, termasuk pengiriman surat yang dilakukan oleh capres maupun cawapres yang dialamatkan di sebuah lembaga pendidikan. Sudah pasti, sikap timses yang menggunakan cara-cara ini dapat merusak reputasi dunia pendidikan sebagai lembaga yang tidak boleh dicemari oleh kepentingan politik. Tidak hanya lembaga milik pemerintah, masjid, termasuk tempat ibadah lain dan pelayanan umumpun dilarang melakukan aktifitas kampanye.

Pelarangan tersebut tentu saja menghindari gesekan-gesekan sosial yang berujung pada aksi kekerasan atas nama "perbedaan pandangan" dan perbedaan pilihan capres-cawapres yang dapat menyulut anarkisme yang tidak dikehendaki. Dengan kata lain, apapun yang berkaitan dengan proses politik harus dialihkan dari lembaga-lembaga pemerintahan dan keagamaan yang nota bene adalah corong ditegakkannya demokrasi yang tanpa memihak. Tidak hanya guru, kepala sekolah, kepala dinas sampai presiden pun sejatinya dilarang memihak kepada salah satu kontestan politik.

Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh bapak Heri Suliyanto, selaku Kadisdik Propinsi Lampung saat menyampaikan sosialisasi larangan guru berpolitik praktis serta menyorot adanya surat tertutup yang dikirimkan oleh pasangan capres kepada guru. Sebagaimana dirilis oleh lampungpost.co, (27/06).

Selain sanksi administrasi yang diberikan kepada guru yang melanggar, sanksi keras hingga pemecatan pun bisa dikenakan kepada guru dan orang-orang yang menduduki jabatan dalam satuan dinas tertentu. Meskipun sanksi-sanksi tersebut terkesan menakutkan, sayang sekali pada tataran pelaksanaannya seringkali terkendala. Dan anehnya meskipun aturan ini sudah sangat ketat, masih ada saja aparatur negara yang melibatkan diri secara langsung maupun tidak langsung dalam aksi politik. Semestinya persoalan pelanggaran ini benar-benar diberikan sanksi yang sesuai agar aparatur negara bersikap sportif dan tidak melakukan kampanye untuk mendukung salah satu kontestan.


Meskipun guru harus menjunjung netralitas, bukan berarti guru-guru tidak memihak dalam tanda kutip memiliki kecenderungan pada sosok wakil rakyatnya. Karena para guru inipun memiliki kewajiban untuk menyalurkan aspirasinya dalam bilik suara. Memilih salah satu dari beberapa calon yang dianggap mumpuni dan layak menjadi pemimpin negeri ini. Tentu saja berdasarkan kriteria-kriteria tertentu dan rekam jejak yang turut menjadi pertimbangan bahwa capres-cawapres tersebut memang pantas menjadi pemimpin negeri ini.

Kemudian, ada beberapa hal yang semestinya guru tidak netral dalam pilpres mendatang, di antaranya:

Pertama: Guru harus memilih (tidak golput)

Setiap guru seyogyanya ingin memiliki pemimpin yang dapat mewakili semua rakyat Indonesia. Tidak terbatas warna kulit, suku maupun agama tertentu. Jadi ketika kita ingin Indonesia maju dan sejahtera, maka gurupun harus memilih (mencoblos) sebagai salah satu cara memberikan dukungan agar capres-cawapres yang terbaik benar-benar dapat memimpin bangsa ini.

Adalah sebuah kesalahan, jika para abdi negara dan pelayan masyarakat ini justru terlibat sentimen SARA, karena perbedaan suku, agama dan latar belakang membuat kita melupakan pilihan dan tidak turut dalam proses pemungutan suara. Dengan kata lain, jika kita cinta Indonesia dan menginginkan perubahan maka kitapun harus memilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun