Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Balada Wakil Rakyat yang "Pelupa"

2 September 2014   12:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:51 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini bukan "sekedar" ngomongin politik, politisi atau anggaran negara. Bukan pula "sekedar" membicarakan sosok anggota dewan yang kelupaan mengeluarkan zakat kekayaannya. Dan juga bukan karena mereka lupa dengan kebijakan yang akhir-akhir ini sungguh merepotkan. Tapi semata-mata tatkala seorang wakil rakyat lupa bahwa sama-sama pernah mengenal.

***

Biasanya pucuk dicinta ulam pun tiba, atau pepatah yang biasanya dilagukan anak-anak "jika ada umur yang panjang boleh kita bertemu lagi". Sama halnya ketika kita pernah mengenal sosok yang awalnya bukan orang "gedean" tapi setelah menjadi wakil rakyat pun bergaya dan menjadi sosok "pelupa". Melupakan bahwa sudah pernah ada romantisme sebagai kawan lama. Mungkin karena status kita berbeda dan kendaraan yang kita naiki pun tak sama. Saya kendaraan sederhana, sedangkan Ia bermobil mewah.

Seperti cerita saya di pagi ini, karena kemarin, saya mendapati seorang wakil rakyat yang tengah asik bermain-main dengan sesama temannya. Sedang bercanda ria dengan berberapa "koleganya". Saya berusaha untuk tak menyapa, khawatir keperluan "penting"nya jadi terganggu karena ulah saya. Tapi sifat saya selalu ingin menyapa orang-orang yang pernah saya kenali, maka saya pun memilih mencoleknya, pertanda saya ingin menyapa meski saya hanyalah masyarakat bawah yang tidak "se-level" dengan para wakil rakyatnya.

Ia pun menoleh dan melihat ke wajah saya, tapi seakan-akan tak lagi mengenal, sapaan baliknya sebatas "tombo ngantuk" agar colekan saya tak sia-sia. Padahal sebelum jadi wakil rakyat, beliau adalah seorang senior yang selalu mengobrol dan bercerita tentang organisasi dan kaderisasi. Saya tetap menyapanya, meskipun saya sedikit gak enak hati. Sekali lagi saya khawatir akan merendahkan harga diri dan privacy seorang pejabat publik.

Saya berusaha husnuzhon, mungkin ini bukan sebuah tabiat yang sebenarnya. Karena, wakil rakyat identik dengan kesehariannya semestinya turun ke bawah, melihat mana sih jalan-jalan desa yang mesti diperbaiki? Mana pula rakyat miskin yang mesti mendapatkan perhatian? Dan saya yakin watak pelupa bukan milik sosok semua pejabat negeri ini. Karena mereka adalah panutan, teladan dan tentu karena "niat" awal mereka ingin mewakili rakyat (bukan partai) agar suara-suara arus bawah benar-benar didengarkan.

Suara-suara arus bawah pun bukan hanya didengarkan saja, tapi benar-benar diapresiasi dan diaktualisasikan keinginan rakyat tersebut dengan sebaik-baiknya. Tentu itu semua harapan rakyat yang telah diwakili. Bahkan jika ingin ditunjukkan ribuan kata-kata yang telah terlontar tatkala "berjanji" kepada calon pemilihnya, maka akan teramat panjang catatan-catatan janji itu jika ingin dituliskan di selembar kertas.

Paling tidak mengingat-ingat lagi lah, apa yang pernah diucapkan. Bukan hanya direkam, dipikirkan, kemudian dilupakan, dengan alasan "bukan prioritas". Dan bukan hal-hal yang menyentuh aspirasi partai mereka. Tapi benar-benar menjawab aspirasi yang muncul dari tatanan grassroot.

Itu jika membicarakan kepentingan yang berbau kebijakan. Tentu saja yang berkaitan pula itung-itungan uang yang harus dibelanjakan untuk kepentingan rakyat banyak, bukan rakyat yang terhormat anggota dewan. Karena selama ini yang paling banyak dibahas berkaitan dengan proyek, perjalanan dinas, kongkow-kongkow di hotel mewah, bahwa tak jauh-jauh dari jalan-jalan ke luar negeri. Seperti halnya ketika rakyat butuh mendapatkan kesejahteraan, maka para "orang terhormat" pun harus memikirkan nasib rakyat bawah. Keinginannya sih sederhana, mereka tak ingin dilupakan.

Terlepas dari cerita saya, terhadap wakil rakyat "pelupa" tadi, sejatinya setiap orang memiliki sifat lupa, lupa akan diri sendiri dan orang lain. Apalagi jika sudah kehidupannya terlilit materi dan kepentingan politik, maka yang ada adalah kita akan selalu lupa dari mana kita berasal, apa yang mesti diperbuat atas amanah yang diberikan, dan kepada siapa semua itu dipertanggung jawabkan. Karena hakekatnya Tuhan selalu menanti, kapan tiba saatnya kita harus menghadap kepada tNya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun