Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Alhamdulillah, Dapat Getuk dari Kepsek

8 Desember 2014   17:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:47 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1418017584729658640

[caption id="attachment_381381" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi (Sumber: Kompas Travel)"][/caption]

Siapa sih yang nggak seneng jika hasil pertanian rakyat naik pangkat dan derajat? Kayaknya di belakang kita para petani singkong mesam-mesem dan wajahnya dipenuhi senyum simpul lantaran hasil jerihpayah mereka berbuah hasil yang tak mengecewakan. Singkong (ubi kayu) yang sejatinya dianggap makanan kaum proletar (kaum buruh) dan miskin di perdesaan, kini naik derajatnya menjajah meja-meja pejabat dan kantor-kantor birokrasi.

Kalau seneng tentulah seneng, meskipun beberapa hari ini, sharing teman-teman di medsos kebetulan menunjuk upaya pemerintah dalam mengimport singkong dari negeri Thailand dan China. Jadi muncullah perdebatan sengit, yang menganggap pemerintah tak konsisten melindungi hasil karya rakyatnya tapi justru mayuk-mayukne (mempromosikan) produksi dari negeri seberang.

Terlepas dari senengnya para petani singkong, karena produk pertanian ini naik pangkat, kerabat saya yang petani pun turut kegirangan karena harga singkong yang semula kisaran 800-1000 rupiah per kilogram kini bisa naik hingga lebih dari 1.200 rupiah. Seperti penuturan seorang petani singkong yang kebetulan mendampingi  cucunya ke sekolah.

Selain harga yang turut melambung, tentu para petani singkong ini semakin bersemangat, tak pelak semula singkong yang sepertinya tak berharga karena harganya tak jelas, kini semakin membuat rakyat bersemangat dalam menanam komoditas andalan Lampung ini. Sekali lagi naiknya singkong berbuah senyum bagi para petaninya. Mudah-mudahan harganya bisa mencapai 2.000 rupiah karena sesuai dengan naiknya upah pengolahan lahan dan bibit serta perawatan tanaman hingga panen tiba. Apalagi kenaikan BBM juga menjadi pemicu keresahan para petani.

Lain para petani lain pula bagi kami para guru yang memang dari kampung. Para guru ini notabene berasal dari keluarga petani, jadi menjadi kebanggaan tatkala harga singkong  semakin menggairahkan. Mereka bisa bermimpi, ketika menggarap singkong dengan jarak masa tanam sampai 8 bulan untuk ukuran seperempat hektar seharga 4 jutaan, kini jika harga (seandainya) sampai 2.000 per kilogram sudah dapat dihitung berapa penghasilan petani dihitung rata-rata perbulan sesuai dengan upah bulanan. Meskipun bisa juga sih mereka masih tak sesuai dengan naiknya sembako lain di pasaran. Paling tidak dengan penghasilan segitu bisa mengangkat taraf hidup mereka.'

Begitu pula snack yang dihidangkan di meja guru yang biasanya roti, kini berubah menjadi singkong yang diubah bentuknya. Singking tidak melulu singkong rebus karena bisa juga diolah menjadi getuk lindri. Getuk yang ditumbuk dari singkong rebus ini dan dicampur gula serta diberi parutan kelapa.

Seperti yang saya terima dari kepala sekolah, tiba-tiba beliau menyodorkan bungkusan makanan ringan, pikir saya apa, eh tak tahunya getuk. Ya saya bersyukur hidangan yang biasanya ke barat-baratan kini berganti ke-Indonesiaan. Hasil dari tanah sendiri dan dikonsumsi oleh anak negeri.

Makanan yang sejatinya teramat mudah dan murah ternyata harus menggantikan hidangan mewah di meja-meja penting pemerintahan. Meskipun tak selalu singkong yang diolah, karena negeri kita juga memiliki beras yang kualitasnya tak kalah dengan Vietnam, Jagung lokal pun tak kalah dari Amerika, kedelai pun kita punya meskipun saat ini produktifitasnya menurun tajam. Semua produk lokal tersebut seandainya dikembangkan lagi dari dijadikan sumber ketahanan pangan dalam negeri tentu akan mengangkat ekonomi negeri ini secara perlahan.

Saya boleh contohkan bagaimana hebatnya China yang bisa membudayakan konsumsi mie di setiap hidangan pestanya, bahkan dalam setiap film negeri tersebut selalu menampilkan masakan mie. Mie menjadi primadona dan tanpa kita sadari Indonesia turut terjangkiti virus mie instant. Sayang sekali kita justru menikmati mie instan yang diolah dari gandum. Sedangkan gandum kita peroleh dari import.

Coba saja jika singkong pun diolah menjadi mie bihun yang dibudayakan untuk dihidangkan dalam acara-acara resmi selain nasi, tentu harga mie bihun menjadi meningkat tajam. Perusahaan mie yang membutuhkan banyak pekerja semakin sukses, para petani penghasil ubi juga bisa tersenyum sumringah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun