Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru SLB Negeri Metro

Suka membaca, traveling, nonton film, menulis, ngobrol ngalur ngidul, suka makan masakan istri

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Ironi Penjaja Diri dan Janji

24 Mei 2025   13:36 Diperbarui: 24 Mei 2025   19:51 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Affiliator di platform jual beli online (dok pribadi)

Sore itu, aku masih saja bercengkrama dengan ponsel di tangan. Sekrol viti yang berseliweran di beranda dan tak sedikit aku mengeryitkan dahi jika ada berita miring tapi kemiringan. Atau sejenak terdiam lalu tertawa lirih karena konten yang kutonton ada unsur lucu-lucunya, meskipun kelucuan itu amat remeh. 

Yap, itulah kebiasaan hari-hariku yang aku lakukan selepas pulang bekerja. Dengan tubuh yang masih lelah setelah hampir seharian bekerja mengurus anak-anak istimewa itu, kusempatkan untuk berpikir lagi, bagaimana mencari penghasilan tambahan agar ada sesuatu yang bisa dibeli setelah semua gaji diserahkan pada bendahara di rumah.

Suatu ketika aku bersemangat sekali ketika ada seorang pembuat konten memberikan video pendek tentang inspirasi bagaimana menjadi tiktoker yang sukses dengan penghasilan dua dijit. Kutatap layar ponsel itu sambil terus menatap si pemberi inspirasi apa yang hendak disampaikan, apakah semua yang dikatakan akan betul-betul dapat aku rasakan juga.

Dalam batinku berucap : "apa iya, kamu ngomong gitu, ujung-ujungnya paling cuma mau jualan buku atau jualan kelas". Sambil ku alihkan tontonanku tadi ke tontonan yang lain. 

Dan lagi-lagi ada sosok wanita berkerudung yang dengan yakinnya mengatakan "Viewermu hanya mentok di bawah 200? Kamu kepingin menaikkan followermu? Gunakan fasilitas iklan yang ada di Tiktok. Niscaya vitimu akan fyp."

Nah, lagi-lagi aku dibuat semakin tercengang karena apa yang dipamerkan adalah suksesnya menjadi seorang tiktoker. Entah dia seorang seller, affiliator atau hanya sekedar konten kreator. 

Karena begitu penasarannya kala itu, akupun membuat akun Tiktok dan berusaha untuk menjadi affiliator kecil-kecilan dengan harapan mendapatkan penghasilan dua digit "ngimpi ". Meskipun faktanya sampai sekarang penghasilan kotor dari affiliator tak juga tembus 2 digit. haha

Semua adalah karena tertarik dan terpesona oleh rayuan pengiklan dan konten kreator yang dengan yakinnya merayu newbie agar bersemangat dalam menjajakan barang atau membuat konten. Dengan konsep seperti yang disampaikan, ternyata nilai penjualan dan viewer tak juga melonjak tajam.

Begitu yakinnya para pembuat viti dan konten iklan itu ketika merayu dan mengajak pengguna tiktok agar mau melejitkan vidionya dan bisa ditonton ribuan orang. Bahkan tidak hanya ribuan orang, karena di sana ada banyak pilihan jumlah penonton atau seberapa banyak viewer mau nemplok di kontenmu. Dengan asumsi jika berbayar maka otomatis pengiklan tersebut akan mendapatkan jumlah penonton yang jauh di atas penonton lainnya.

Ya, itu nggak salah sih, karena pernah pula aku ikut ngiklan dan penonton serta followerku jadi ribuan orang.

Sayangnya meskipun sampai ribuan orang follower, eh yang nonton liveku gak sampai ratusan orang. Dan yang mau bertahan sampai selesai pun gak ada sama sekali. Rata-rata semua hanya melihat sekilas dan kabur entah kemana.

Selain para pembuat konten iklan atau viti sekedar menjadi seller atau affiliator, nyatanya banyak yang akhirnya gulung tikar dan gak mampu bertahan dari gempuran produk yang dijual ancur-ancuran. Banyak dari pengusaha yang sengaja mengerahkan anak buahnya agar mau membuat live di pabrik sambil menjajakan produknya. Ada juga seorang agen promosi yang sengaja merekrut banyak karyawan agar mau memasarkan produk orang lain dengan bayaran yang katanya sih "mantap" tapi nyatanya banyak karyawan yang akhirnya keluar dan gak sanggup menghadapi tekanan kerja dari bosnya.

Itulah bayang-bayang yang aku alami dan mungkin ada jutaan affiliator serta pembuat konten yang harus menyerah kalah dari para pemilik modal dan skill penjual yang sudah lama jam terbangnya.

Ketika aku harus melalui dari nol dan mencoba menggunakan fasilitas promosi, nyatanya yang mau membeli produk yang aku tawarkan juga gak sesuai dengan ekspektasi dari si mbak-mbak pembuat iklan tadi.

Mencari uang kataya mudah tapi tak semudah itu Ferguso!

Jika melihat beragam promosi dan beribu-ribu seller dan affiliator nyatanya tidak semua oang yang berjuang dapat meraih omset yang katanya 2 dijit tadi. Meskipun ada yang mampu 2 dijit itupun tidak lebih dari 1 persen dari keseluruhan seller atau penjual di tiktok.

Mengapa? Karena Tiktok punya cara bagaimana usernya mau tetap bertahan di sana dan tertantang dengan janji-janji yang kadang bikin sakit hati. Meskipun rasa sakit dan kecewa itu kerap melanda para usernya, tak sedikit pula yang mampu bertahan sampai semua habis dikorbankan.

Masih beruntung yang jelas-jelas jualan yang memang menghasilkan uang dari jualan produk, dengan risiko harus meraih untung sedikit lantaran terlalu banyak yang harus dikeluarkan demi meraih pembeli sebanyak-banyaknya. 

Dan seandainya produknya laku banyak, pihak tiktok akan mendapatkan keuntungan sebagai platform yang akan mendapatkan uang "upeti" dari para seller tadi. Bentuknya berupa diskon atau kupon potongan harga yang harus disiapkan oleh si seller sendiri. Dengan catatan ada juga yang mendapatkan secara gratis setelah menyelesaikan tugas-tugas dari platform jual beli tersebut.

Dengan jumlah pengguna aktif 1,8 milyar manusia, maka amat wajar jika Tiktok bisa mengalahkan platform lain seperti Facebook, Youtube, IG maupun platform lainnya.

Jelas saja, dengan jumlah pengguna 1,8 milyar manusia, jika transaksi dari iklan atau promosi tadi hanya separuhnya saja bisa dipastikan nilainya bisa trilyunan rupiah. Silakan pembaca hitung sendiri jika setiap iklan mengambil harga seratus ribu rupiah saja mencapai 90 trilyun rupiah. Itu dihitung perbulan. Bagaimana jika setiap bulan pengguna tiktok melakukan transaksi iklan tadi? Wah mungkin kita hanya bisa geleng-geleng kepala.

Dengan penghasilan bos tiktok yang segede gaban itu, lalu dibandingkan dengan pendapatan dari penggunanya yang gak sampai 10% tentu Tiktok jauh lebih untung dibandingkan para seller atau affiliator yang sudah jor-joran menggunakan jasa iklannya.

Meskipun demikian, dari pendapatan tersebut, tentu pemerintah kita akan mendapatkan pajak yang tidak sedikit, yang nilainya juga besar. Akan tetapi apakah Tiktok transparan dalam menyampaikan laporan keuangan dan pembayaran pajaknya?

Namun, bagaimana dengan pengguna ecek-ecek yang terus berhayal akan menjadi kaya dengan algoritma yang tidak mudah ditebak dan berubah-ubah seiring waktu. Itulah hebatnya tiktok yang akan selalu mampu mengikat penggunanya agar terus menggunakannya dan bagaimana mereka tak lepas dari cengkraman bisnis yang cukup menggiurkan ini.

Pengguna hanya diberikan rayuan dan janji-janji manis bakalan sukses menjadi konten kreator dan affiliator, tapi janji tinggal janji yang seringkali hanya imajinasi penggunanya.

Jika ada pengguna tiktok yang bisa berhasil yang pasti dia harus banyak merogoh kocek yang dalam dalam beriklan dan itu tak sebanding dengan pendapatannya.

Boleh berhayal sukses di Tiktok, tapi harus siap "jual diri"

Apa yang saya katakan di sini bukan bermaksud mendiskreditkan pengguna tiktok dengan sifat yang negatif, karena maksud di sini adalah bahwa mereka harus peras keringat dan banting tulang dengan modal besar jika ingin sukses nyari cuan dari aplikasi hitam ini.

Mengapa? Ya seperti pada bahasan di atas, bahwa tidak mudah mendapatkan keuntungan jika hanya modal dengkul. Jika modal uangnya besar maka otomatis akan membuat tayangan video juga tinggi. 

Namun sayang sekali, meskipun tayangan video yang tinggi, jika kontennya biasa-biasa saja dan tidak menarik apalagi hanya ecek-ecek, maka jangan berharap mendapatkan penghasilan lebih.

Apalagi bagi affiliator yang harga produknya bisa dibuat semurah mungkin oleh seller. Ada harga yang tadinya mahal, ketika kita beriklan tiba-tiba ada yang lebih murah di tangan toko lain. Yang tentu saja iklan yang sudah kita bayar akan sia-sia. Pembeli akan dengan mudahnya menentukan pilihan, memilih harga yang lebih murah. 

Inilah yang menjadikan para affiliator merasa dirugikan oleh seller. Mereka berharap mendapat komisi dari penjualan, karena produk yang tawarkan ternyata ada yang lebih murah, maka akan sulit menarik para pembeli.

Affiliator rugi karena membuang kuota data, waktu membuat konten dan kerugian karena mereka memasarkan produk orang lain tapi tak mendapatkan imbalan atau komisi serupiah pun. Meskipun ada yang mengaku mendapatkan penghasilan yang tinggi, yang pasti tidak lebih dari 10 persen pengguna yang berhasil.

Ya, semoga saja apa yang saya ceritakan di tulisan ini hanyalah asumsi dan tebak-tebakan saja, karena jika ini benar terjadi dan para affiliator bertahan, maka alamat kerugian akan semakin besar tapi tanpa disadari oleh penggunanya.

Semoga saja kebijakan Tiktok sebagai platform besar akan semakin adil, mereka membuat tarif iklan dengan harga lebih murah, jadi meskipun penggunanya tidak mendapatkan keuntungan, paling tidak tidak terlalu besar nilai kerugiannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun