Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ketika Para Tongkronger Melecehkan Warung Pinggiran, Gejala Sindrom "Pamerisme"

23 Oktober 2020   07:08 Diperbarui: 23 Oktober 2020   09:34 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: liputan6.com

Bahkan seandainya kita hidup tanpa memiliki apa-apa pun, sejatinya tetaplah manusia kaya dengan segala fasilitas yang diberikan Tuhan dengan cara gratis. Itu saja sudah cukup menilai bahwa kita semua adalah kaya. Dan bisa juga menunjukkan bahwa kita semua adalah miskin dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh Tuhan di alam semesta ini.

Gejala Sindrom Pamerisme dalam Kacamata orang desa

Saya tidak menampik bahwa setiap orang ingin pamer. Saya sendiri pun sering melakukan aksi pamer yang kadangkala menggelikan. Bagaimana tidak menggelikan, ketika saya pamer tidur di hotel mewah, nyatanya masih banyak yang tidur di hotel mewah berbintang enam belas misalnya. Dan anehnya lagi, hotel yang disewa semalam itu pun punya pemilik yang pastinya lebih kaya. Iya kan?

Dan lucunya lagi ketika saya memamerkan makanan mewah tersebut, saya lupa apa yang saya makan hakekatnya akan menjadi kotoran yang justru menciptakan bau yang tidak sedap. Yap, semua yang kita konsumsi akan menjadi sampah dan ada pula yang justru menjadi penyakit jika ternyata mengandung bahan-bahan yang berbahaya. 

Lagipula  ketika saya makan di restoran mahal pun kebanyakan dibiayai oleh negara yang nyatanya gratis. Sungguh semestinya saya juga malu memamerkan hal-hal yang sungguh tidak layak dipamerkan, jika semua itu hanyalah pemberian. Kita semua bisa menikmati alam semesta ini secara gratis diberikan Tuhan. Apa yang mau disombongkan?

Dari sini saja saya merasa sangat kecil dibandingkan para tokoh publik yang memiliki banyak kekayaan. Dan tokoh publik itupun sejatinya masih kecil dibandingkan pemilik kehidupan ini.

Kembali pada gejala sindrom Pamerisme, maaf sindrom Pamerisme sama dengan sindrom ingin menunjukkan apapun yang dipunyai. Meskipun orang lain peduli atau tidak.

Bayangkan saja, ketika kita di usia anak-anak ketika  memiliki celana baru, tentu kita ingin menunjukkan bahwa kita punya celana baru pada teman-teman sebayanya. Apalagi memiliki kekayaan yang bernilai Trilyunan Dolar misalnya, maka akan mudah untuk memamerkan pada orang lain. 

Ini masih saya anggap wajar. Yang tidak wajar ketika hal-hal yang sebenarnya sepele masih juga kita pamerkan pada orang lain yang kita anggap jauh derajatnya di bawah kita. Meskipun faktanya, yang pamer itu justru lebih rendah derajatnya dari orang yang dipamerin. Bahkan bisa dikatakan naif dan memuakkan.

Kalau dalam bahasa gaulnya, "lu punya ponsel, aku juga punya. Lu punya mobil, tetanggaku juga punya. Mau punya pulau dan harta segunung pun ada yang lebih kaya, yaitu Qorun, yang kunci-kuncinya sampai kita membawanyapun tidak mampu. Nyatanya di akhir hayatnya harta kekayaan Qorun tidak bersisa lagi karena tertimbun tanah." 

Dunia ini nggak kekal bro! Nggak ada secuil harta yang layak untuk kesombongan. Jangankan yang segitu banyak dimiliki manusia, dunia ini saja akan mengalami masa tua dan berakhir kematian alias kiamat. Apalagi yang mau disombongin kalau cuman ponsel yang nilainya cuman puluhan juta. Apalagi tidur di hotel yang mungkin ongkosnya tak lebih dari 5 jutaan. Ya kan??

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun