Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sahabat, yang Berbeda Jalan Pengabdian

19 Agustus 2020   09:15 Diperbarui: 19 Agustus 2020   23:48 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Fajar.co.id

Pagi ini begitu sejuk untuk dirasakan. Angin yang berhembus lembut, menerpa kulit setiap orang di sana. Di sebuah rumah berdinding bambu dengan wujud yang sederhana itu nampak dua orang tengah duduk santai sambil menikmati kopi.

Rumah yang dipenuhi oleh ornamen adat Jawa itu nampak sangat terawat. Meskipun sebagian mulai lapuk oleh rayap yang nakal, nyatanya karena ketelatenan pemiliknya, nampak itu tetap terlihat menarik. Memancing siapapun untuk melihatnya karena penasaran.

Di depannya beberapa bunga nampak subur terawat. Bunga mawar yang terus mekar, seperti menyiratkan betapa rumah tersebut selalu memekarkan diri, menghiaskan diri dengan keindahannya. Sama seperti penghuninya yang selalu saja membuat orang-orang di sekitarnya kagum karena kesederhanaannya.

Ia adalah Amir, seperti orang-orang menyebut namanya kala memanggil. Ia ialah seorang guru ngaji di kampungnya. Setiap sore hari kakinya selalu melangkah ke mushala kecil. Di sana anak-anak sudah menanti untuk belajar abata dari sang guru. Jika sore hari, anak-anak sudah menanti kehadirannya dengan sabar. Ada banyak senyum yang memancar di sana.

"Mas Amir lagi ngapain to? Ada sosok yang di sisi jalan depan rumah itu tiba-tiba menegur.  Laki-laki itu mengenakan setelan kaos dan celana panjang warna hitam.

"Biasalah, duduk-duduk sambil minum kopi." Jawabnya sederhana.

"Mau kemana? Kog seperti terburu-buru? tanya Amir lagi.

"Sini lho mas, ngopi bareng kita. Mantap  pagi-pagi ngopi." Ajak Amir pada pria itu. Pria itu adalah Maman, teman sedesa yang pernah aktif membangun majelis taklim di desanya. Sayangnya beberapa bulan terakhir si Maman mundur dari kepengurusan. 

Kurang jelas apa masalahnya. Tapi di akhir tugasnya itu Maman memang pernah berdebat soal negeri khilafah. Maman bersikukuh bahwa Indonesia adalah negara yang tidak Islami. Bahkan menurut Maman, sudah tidak layak diikuti.

Maman pun mengatakan bahwa saat ini bukan untuk banyak teori tentang agama, tapi  mengembankan tugas sucinya dalam berjihad. Nah, pada saat itulah antara Amir dan Maman terjadi percekcokan. Puncaknya mereka pecah kongsi dan kini Maman tidak mau lagi mengurus majelis taklim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun