Kong Peipei, wakil direktur dan peneliti di lembaga studi opera Tiongkok di Akademi Seni Nasional Tiongkok, menggemakan hal ini dari sudut pandang penonton.
Dia mencatat bahwa partisipasi robot dalam pertunjukan opera tradisional bersifat eksperimental dan dapat berfungsi sebagai tampilan eksploratif.
"Namun, di luar pertunjukan teknologi, pertukaran emosi yang konstan antara aktor opera dan penonton adalah alasan utama mengapa orang bersedia masuk ke teater dan merangkul bentuk apresiasi artistik ini. Sama seperti film opera berteknologi maju tidak akan pernah bisa menggantikan pertunjukan opera langsung," kata Kong.
Dengan bertindak sebagai penampil interaktif, robot membantu mendigitalkan warisan budaya takbenda (intangible cultural heritage) dan akhirnya memahami emosi manusia. Ke depannya, proyek ini dapat memengaruhi bagaimana masyarakat menggunakan pendamping AI dalam perawatan lansia, pendidikan, dan profesi berbahaya.
"Alih-alih menjadi saingan, Scholar 01 lebih seperti katalisator," ujar Huang Shenwen, seorang mahasiswa di akademi yang berinteraksi dengan robot tersebut, kepada media. "Dia mendorong saya untuk berpikir tentang apa yang membuat kreativitas manusia tak tergantikan. Tugas-tugas teknis mungkin dapat diotomatisasi, tetapi inti seni&imajinasi, empati, dan konteks budaya dan tetaplah unik dan manusiawi."
Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan etis masih ada. "Uncanny valley (Lembah gaib)"*, ketidaknyamanan yang dirasakan sebagian orang ketika robot tampak terlalu manusiawi, tetap menjadi tantangan. Dan seiring AI semakin canggih, masyarakat harus menetapkan batasan untuk kreativitas, kepengarangan, dan tanggung- jawab.
*Uncanny valley (lembah gaib) adalah teori yang diajukan oleh ahli robotika Jepang, Masahiro Mori, pada tahun 1970. Teori ini menggambarkan fenomena di mana kreasi buatan yang hampir, tetapi tidak sepenuhnya, menyerupai manusia, menimbulkan perasaan tidak nyaman, menyeramkan, atau bahkan jijik dari pengamat manusia. Seiring meningkatnya kemiripan manusia suatu objek, afinitas kita terhadapnya juga umumnya meningkat, tetapi afinitas ini merosot ke dalam "lembah" ketidaknyamanan ketika realismenya menjadi sangat tinggi namun tidak sempurna, sebelum meningkat kembali ketika objek tersebut mencapai realisme tingkat manusia sejati. Efek ini diamati pada robot, animatronik, karakter virtual, dan entitas buatan lainnya yang termasuk dalam kategori "hampir manusia" ini.
"AI berevolusi dengan kecepatan yang tak seorang pun dapat prediksi sepenuhnya," kata Yang. "Dalam empat tahun, kita tidak tahu seberapa jauh perkembangannya. Namun, prosesnya sendiri, yang mendokumentasikan bagaimana mesin mempelajari seni bersama manusia dan mencapai HRI yang telah dikembangkan untuk penggunaan robot selanjutnya, adalah hasil yang paling berharga."
Sumber: Media TV & tulisan Luar Negeri