Mohon tunggu...
maken awalun
maken awalun Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Politik Pendakwaan" Nama Allah?

1 Juni 2018   01:47 Diperbarui: 1 Juni 2018   01:57 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Akhir-akhir ini kita menyaksikan para aktor politik memainkan apa yang disebut filsuf Jaques Derrida (1830-2004) sebagai "originality of violence", yaitu kekerasan [yang berawal dari] wacana, yang sangat menggelitik nalar dan nurani publik tanah air. 

Dengan berbagai hasteg mereka mempertontonkan sebuah model "politik kekerasan kata periode pasca-kebenaran" - politik otonomi dan desentralisasi yang digerakkan oleh media modern berbasis online - dengan keinginan (will) mendekonstruksi setiap "cerita besar" (grand narrative) ala Jean-Francois Lyotard (1924-1998) yang menempel pada hakikat demokrasi dan politik modern, dan bahkan ajaran-ajaran suci agama. Tak tanggung-tanggung "politik kekerasan kata" memasukkan pula nama Ilahi - Allah - ke dalam kosa katanya. Publik Nusantara yang agamis pun termangu: 

"Mengapa nama Allah dilibatkan dalam politik kekerasan kata pasca-kebenaran? Apakah nama Allah menjadi salah satu dari "cerita agung" yang harus didekonstruksi oleh politik kekerasan kata pasca-kebenaran? Apakah nama Allah dianggap relatif dan sama dengan relativitas sebuah politik kekerasan kata pasca-kebenaran yang hanya bersifat momentaris-pragmatis?"

Adalah filsuf Friederich Nietszche (1844-1900) yang telah lama mengingatkan kita akan gejala nama Ilahi ini. Melalui karyanya Thus Spoke Zarathustra (1883), sang penerobos gerbang postmodernisme ini secara sarkastik memaklumkan "kematian Allah" (God is dead) dalam budaya modern dengan segala dimensi kehidupannya. Melalui pemakluman ini, sang filsuf secara tegas menggarisbawahi 2 bahaya yang akan dihadapai manusia modern. 

Aspek pertama, ketidakmampuan manusia untuk memelihara kebebasan dan moralitasnya akan menuntunnya kepada kehancuran yang tiada taranya dalam ranah budaya, termasuk agama. Konsekwensi pemakluman Nietszche ini ialah apabila budaya bangsa kita tidak lagi berdasar pada moralitas dan agama yang kuat maka kita akan mengalami DISORIENTASI dalam hidup bersama sebagai satu kesatuan bangsa dan negara.

Aspek kedua yang sangat penting dari seruan "Allah telah mati" adalah terbitnya sebuah era baru dalam budaya manusia modern, yaitu ATEISME PRAKTIS. Konsekwensinya, kita mengangungkan rasionalitas dan kebebasan manusia sedemikian rupa sehingga Yang Ilahi dianggap tidak penting lagi dalam hidup pribadi dan hidup bersama. Apa yang benar dan dijunjung tinggi adalah "kehendak untuk berkuasa" (the will to power).

"Kehendak untuk berkuasa" adalah dorongan internal - kalau bukan naluri - manusia yang haus memperjuangkan eksistensinya dalam ranah politik dan budaya. Kehendak itu hadir sebagai sebuah dambaan untuk mengatur kesejahteran para anggota "polis" (warga kota, warga negara) menuju ideal hidup masyarakat yang mendambakan "keadilan" ala Plato (428-348) dan "kesejahteraan bersama atau bonum commune" ala Aristoteles (384-322) sebagai cita-cita luhur bersama.

Namun, ketika cita-cita luhur bersama ini berubah menjadi "kehendak untuk berkuasa" secara individual, kita menyaksikan "politik kekerasan kata" yang tidak sepatutnya di ruang publik. Ketika "kehendak untuk berkuasa" dimainkan dalam model "politik kekerasan kata" kita menyaksikan sebuah model pembelajaran politik yang sangat bertentangan nilai-nilai demokrasi modern yang dianut oleh Demokrasi Pancasila.

Lebih dari itu, ketika politik kekerasan kata telah melibatkan nama Allah, kita menyaksikan sebuah model "politik pendakwaan nama Allah" yang naif. 

Dengan istilah "politik pendakwaan nama Allah" dimaksudkan sebuah model pencarian kekuasaan duniawi yang memandang Allah sebagai salah satu entitas dari entitas-entitas lain yang serba terbatas, dimana Yang Ilahi diikutsertakan sebagai justifikasi untuk meraih "kehendak untuk berkuasa". 

Dalam perspektif filsafat Nietszchean, konsewensi dari pelibatan nama Allah dalam politik kehendak untuk berkuasa adalah sebuah "penerimaan" secara tidak langsung kepada ateisme praktis di ambang pintu postmodernisme. Alasannya ialah karena manusia mengganggap dirinya sebagai "manusia Agung" (Ubermensch) yang mampu mengarahkan diri, pikiran, kehendak dan kebebasannya sendiri terlepas dari dan tanpa tuntunan norma sosial dan agama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun