Mohon tunggu...
maken awalun
maken awalun Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"The Bible, A Book Par Excellence"

19 April 2018   15:22 Diperbarui: 19 April 2018   15:22 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya menulis artikel singkat ini ketika sedang mengikuti kuliah filsafat etika Emmanuel Levinas di Departemen Filsafat Ateneo de Manila University (19/4). Pada saat perkuliahan ini berlangsung saya teringat akan perdebatan publik kita yang hangat membahas tentang Kitab Suci. Berinspirasi dari materi perkuliahan itu, saya lalu memberi judul tulisan di atas dengan mengutip perkataan filsuf Emmanuel Levinas. 

LEVINAS DAN 'FILSAFAT PERTAMA'

Filsuf eksistensialisme ini lahir di Kaunas, Lithuania pada 30 Desember 1905 dan meninggal di Prancis, 25 Desember 1995. Filsuf berdarah Yahudi ini dikenal dengan kritiknya terhadap ontologi (studi tentang ada) dalam sejarah Filsafat Barat, khususnya dalam karya filsuf Jerman Martin Heidegger (1889-1976). Menurutnya, seluruh sejarah ontologi dicirikhaskan oleh "keinginan mengusahakan totalitas" (desire for totality). 

Artinya, seluruh ontologi Filsafat Barat berusaha untuk menciptakan sebuah totalitas atau keseluruhan dimana yang berbeda dan "yang lain" (the other) direduksikan kepada kesamaan identitas. Keinginan ini menunjukkan bahwa ontologi Filsafat Barat pada hakikatnya adalah manifestasi dari "rasio instrumental" Instrumental reason), yaitu akal budi yang berfungsi sebagai alat untuk menentukan kebaikan. Dengan kata lain, akal budi adalah alat untuk mencapai sebuah tujuan tertentu (bdk. https://www.britannica.com/biography/Emmanuel-Levinas).

Penjelasan di atas sebenarnya menunjukkan bahwa ontologi Filsafat Barat yang diusahakan oleh Heidegger untuk mendapatkan sebuah "ontologi fundamental" (fundamental ontology) hanyalah sebuah releksi atas akal budi yang terarah kepada totalisasi dan kolonisasi manusia. Sebagai gantinya, Levinas mengembangkan sebuah ontologi yang mengarah kepada yang berbeda dan "yang lain" (the Other). 

Levinas mengembangkan sebuah pemikiran otologis dalam filsafatnya yang disebutnya "filsafat pertama" (first philosophy). Dengan istilah ini, Levinas tidak memaksudkan sebuah metafisika ala Aristoteles, atau sebuah logika tradisional. Sebaliknya, dengan istilah "first philosophy", Levinas memaksudkan sebuah uraian interpretative atau dekpripsi fenomenologis mengenai perjumpaan antar pribadi (face-to-face encounter). 

Filsafat Levinas, dengan demikian, terarah kepada sebuah relasi intersubyektivitas yang pada dasarnya menyatakan pentingnya panggilan seseorang dan tanggapan orang lain. Orang lain yang hadir dalam sebuah wajah adalah sebuah panggilan dan undangan kepada pihak lain untuk terlibat dengan memberikan tanggapan dan tanggung jawab (bdk. https://plato.stanford.edu/entries/levinas).

KITAB SUCI DAN FILSAFAT

Pertanyaan yang muncul ialah dari manakah Levinas mendapatkan inspirasi untuk membangun "ontologi wajah" melawan "ontologi fundamental" Heidegger? Dalam bukunya "Ethics and Infinity" (Pittsburg: Duquesne University Press, 1982), yang berisikan kumpulan wawancara dengan Philippe Nemo dari Radio Frabce-Culture, Levinas ditanya oleh sang penyiar: 

"Apakah buku pertama yang paling baik yang kau jumpai, Kitab Suci atau buku para filsuf?

Dalam konteks budaya Prancis yang sekuler, para filsuf yang menghadapi pertanyaan ini tentu akan sangat hati-hati untuk menjawabnya. Namun, pertanyaan ini tidak menjadi kendala bagi Levinas. Dengan lantang Levinas mengatakan: 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun