Mohon tunggu...
Humaniora

Filsafat Blangkon

31 Oktober 2016   11:01 Diperbarui: 31 Oktober 2016   11:06 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lelakon

Lelakon berasal dari kata dasar “laku”. Orang yang melakukan perjalanan disebut “Lakon”. Rangkaian perjalanannya disebut “lelakon”. Lelakon hidup ada getir, pahit, asin, manis, asam. Kadang menukik, kadang meluncur, kadang mendaki, kadang menurun. Ada kalanya sempit, namun juga ada kalanya luas. Ada masanya keruh namun juga ada masanya Jernih. Tidak jarang tersandung sesuatu yang keras, namun juga tak jarang jatuh pada landasan yang empuk. Itulah hidup, itulah Jagat.

Blangkon yang diikatkan di kepala memberikan simbolisasi tentang Belang-belangnya hidup yang harus berani disunggi di kepala. Dalam Bahasa Jawa Kepala adalah Sirah : Isine Rah atau Rat. Sirah berisi kehidupan dan berisi jagat, dimana jagat yang luas ini tidak hanya berisi buah-buah ranum nan segar namun bangkai-bangkai busuk penuh belatung. Bukan hanya berisi Terang namun juga berisi Gelap. Kemudian Gelap Terang (belang) itu disusun, diikatkan di kepala, dan disimpul di belakang.

Mondol

Banyak yang mengartikan bahwa Blangkon adalah representasi sifat orang Jawa. Yang sepertinya sangat santun di depan namun ternyata menyimpan dendam di belakang. Pengartian ini tidak perlu dibantah dan tidak pula harus langsung diterima. Apalagi baik dan buruk tidak ditentukan oleh Blangkon. Dalam tulisan ini Blangkon di artikan dalam versi yang berbeda. Mondol di bagian belakang adalah lambang dari simpul atau kesimpulan yang telah rela menggabungkan belang-belang kehidupan sebagai proses pematangan laku-nya. Sebuah kesimpulan sebaiknya memang ditaruh di belakang, sebab kesimpulan satu orang dengan orang lainnya tentu berbeda-beda. Yang di depan biarlah outputnya, yakni kebaikan apa yang ditampilkan dari kesimpulan tersebut. Jika kesimpulan dijadikan “hidangan”, dimana setiap orang dipaksa “menelan” kesimpulan, sementara; orang yang dipaksa menelan telah memiliki ‘resep’ dan hidangannya sendiri maka yang terjadi justru benturan-benturan yang tidak lagi bergerak dalam kebaikan namun justru berselisih untuk mengemukakan kebenaran masing-masing. Itulah mengapa sebaiknya Mondol diletakkan dibelakang, agar menjadi simpul.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun