Mohon tunggu...
Maidiyanto Rahmat
Maidiyanto Rahmat Mohon Tunggu... pegawai negeri -

saya hanya ingin berbagi sedikit yang ditahu, sedikit yang dimengerti, sedikit yang terpikirkan. semoga dapat meramaikan makna dan warna hidup anda. mari lebih akrab di maidiyantorahmat@ymail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rasionalisasi Birokrasi

15 November 2010   15:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:35 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Birokrasi di Indonesia tidak rasional. Kira-kira seperti itulah inti dari tulisan ini. Dibalik didengung-dengungkannya reformasi birokrasi di segala lini baik di aspek kelembagaan (organization), ketatalaksanaan (business process) dan aparatnya, kita seringkali melupakan konsep rasionalitas yaitu keterimaan terhadap akal sehat terhadap perubahan yang ingin diterapkan.

Adanya intervensi politik adalah satu dari sekian hal yang mengganggu rasionalitas terhadap suatu konsep baru yang akan digunakan. Padahal kita semua tahu, intervensi politik yang kental dalam ranah birokrasi hanya ada ketika orde baru dulu. Sekarang kita di orde reformasi, masa ketika negara ini mulai menguatkan nilai-nilai demokrasi.

Rasionalisasi disini tidak diartikan dalam lingkup kepegawaian seperti biasa disebutkan dalam konsep reformasi birokrasi. Rasionalisasi lebih dihubungkan pada bagaimana birokrasi kita dapat bekerja dapat diterima oleh akal yang rasional sehingga terjadinya konflik dalam penerapannya dapat dihilangkan. Ketidakrasionalan birokrasi negeri ini dapat terlihat dalam tiga hal yaitu pertama, tidak adanya koherensi positif antara regulasi yang dibuat oleh negara ini dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya permohonan pengujian materi peraturan perundang-undangan kepada Mahkamah Konstitusi. Sejak 2003, MK telah menerima 247 permohonan uji materi terhadap undang-undang, dan 58 undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini jelas menunjukkan kemampuan legislasi DPR dan DPRD yang masih lemah padahal mereka menuntut fasilitas ‘lengkap’ untuk meningkatkan kinerja mereka.

Kedua, semakin berkembangnya pemikiran untuk membentuk lembaga-lembaga baru di tingkat nasional dan pembiayaannya yang dibebankan dalam APBN. Padahal di lain sisi, masih banyak masalah-masalah di Indonesia yang harus dihadapi secara fokus oleh instansi tertentu misalkan masalah pendidikan dan kesehatan. Hal ini dilihat dari menjamurnya Lembaga Non Struktural di Indonesia. Walaupun ada rencana untuk menggabungkan beberapa lembaga, 92 LNS yang ada masih tergolong jumlah besar. Besarnya pemikiran untuk mendirikan lembaga-lembaga baru memang salah satu konsekuensi adanya reformasi di negeri ini. Namun hal tersebut tidak lantas menjadikan Indonesia menerima setiap pemikiran baru tanpa memperhitungkan keadaan yang ada.

Ketiga, semakin banyaknya inkompetensi aparat di segala bidang. Karena tidak adanya aturan yang mengatur untuk persyaratan seseorang untuk menduduki suatu jabatan strategis, sah-sah saja ketika seorang bisa membawahi suatu organisasi yang tidak sesuai dengan jalur pendidikannya. Kata sebagian kalangan, unsur pimpinan hanya menyoal masalah manajerial. Rasionalnya, bagaimana bisa seorang menteri ekonomi mengambil suatu kebijakan yang strategis ketika dia tidak mengetahui apa itu gini index, apa itu inflasi, dan lain-lain. Bagaimana seorang camat bisa mengatur wilayahnya kalau dia tidak tahu basic-basic ilmu pemerintahan. Tidak ada gunanya rasanya ketika seorang berkelumit dengan bidang tertentu ketika pendidikan tapi ia tidak bisa mengimplementasikannya untuk kemajuan negara ini.

Eksklusivisme pejabat
Salah satu hal yang menunjukkan tidak adanya rasionalitas dalam birokrasi ini adalah semakin tingginya disparitas antara pejabat dan rakyat. Ketika masih banyaknya jumlah penduduk miskin dan angka pengangguran, alokasi pembelian baju para menteri bisa mencapai Rp 839 juta. Begitu pula anggaran Rp 149,17 untuk furnitur di Istana Kepresidenan di Jakarta dan anggaran untuk pidato presiden hingga 1,9 Miliar. Jika kita melihat hasil penelitian oleh UKP4 (Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan), 25 % kerja kementerian masih dinilai mengecewakan. Hal ini menunjukkan tidak ada kata rasional antara eklusivisme pejabat dengan kinerja mereka.

Salah satu hal yang dituntut oleh reformasi adalah adanya komitmen dan keteladanan dari elit politik yang nota bene adalah pengambil kebijakan. Ketika pejabat elit meminta banyak dilayani ini dan itu, sebenarnya ia sudah menyalah esensi dari reformasi itu sendiri. Tidak rasional rasanya ketika sudah zamannya pemerintah di posisi sebagai ‘pelayan’ tapi masih banyak para pejabat elit minta untuk terus ‘dilayani’.

Proliferasi Birokrasi
Penyakit yang acapkali menghinggapi pimpinan birokrasi adalah keinginan untuk selalu menambah jumlah organisasinya yang biasa disebut dalam teori organisasi sebagai proliferation. Penambahan jumlah organisasi baru sebenarnya sah-sah saja asal sudah dilakukan evaluasi terhadap lembaga-lembaga organisasi yang ada (the existing unit). Ketika dikatakan tidak efektif lagi, perlu dievaluasi apakah perlu adanya merger dengan lembaga lainnya yang tupoksinya hampir sama.

Sikap proliferasi di negara ini dapat terlihat dalam begitu ramainya daerah-daerah yang meminta untuk dimekarkan. Pemekaran daerah di berbagai daerah di Indonesia menjadi tidak rasional ketika hal tersebut dianggap dapat mengganggu integritas bangsa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan selama sepuluh tahun terakhir 80 persen dari 205 daerah pemekaran kurang berhasil dan justru menimbulkan masalah baru. Karena itu, perlu adanya grand design pemekaran wilayah serta adanya ketegasan ketika daerah tersebut dikategorikan tidak layak untuk dimekarkan.

Selain itu kalau kita melihat kelembagaan di tingkat nasional, kita dapat melihat semakin banyaknya lembaga nonstruktural. Pada pertengahan 2009 lalu diidentifikasikan jumlah LNS yang ada di Indonesia mencapai 92 (sebagaimana dilansir LAN) dan sepertiga dari LNS tersebut dibiayai oleh APBN. Walaupun bekerja bukan dalam unit tersendiri, LNS masih tergabung dalam kementerian. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan inefisiensi anggaran karena terjadi tumpang tindih tugas dan fungsi antara LNS dengan kementerian.

Reformasi negeri ini membutuhkan seorang pemimpin yang berpikir rasional dalam kebijakannya, negeri ini butuh aturan yang rasional dalam menghadapi masalah yang ada, negeri ini butuh birokrasi yang rasional untuk mewujudkan perubahan yang lebih baik. Dan sekarang, kita sendiri yang menentukan apakah negara ini dapat berjalan dengan prinsip rasionalitas.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun