Kebijakan menteri kebudayaan untuk kembali menulis sejarah ulang sejarah Indonesia, masih menjadi perhatian publik. Ada banyak asumsi tersebar, atau dugaan, penulisan kembali sejarah bangsa adalah cara "pemerintah" untuk mengotak-atik peristiwa sejarah sebagaimana kemuan penguasa.
Ya saja, kalau penuturan itu obyektif. Bagaimana kalau banyak "dibumbui" pesanan dari kalangan tertentu yang berharap sejarah hanya satu versi. Â Versi lain ditutupi karena tidak sesuai dengan keinginan banyak kalangan. Sejarah akhirnya tidak lagi orisinil karena terlanjur diwarnai.
Kecurigaan itu, terlihat dengan mundurnya editor gabungan tim ahli Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, yakni Prof. Harry Truman Simanjuntak. Alasan mundurnya karena ada istilah "prasejarah" yang dituliskan "sejarah awal".
Istilah prasejarah, menurut Truman, sudah menjadi baku di kalangan akademisi seluruh dunia. Penghapusan prasejarah dari nomenklatur keilmuan diganti menjadi sejarah awal dinilainya sebagai sebuah kesalahan fatal.
"Bagi saya, integritas keilmuan yang lebih penting, karena semua pandangan dunia mengerti apa yang dimaksud dengan prasejarah," begitu Tempo mengabrkan, 24 Mei 2025.
Rencana pemerintah itu dikomentari pula oleh para sejarawan, bisa dijadikan alat legitimasi menghilangkan peran perempuan dalam sejarah. Misalnya (draf) buku itu belum menyorot peran perempuan. Padahal tokoh-tokoh perempuan memiliki peran menonjol.
"Tokoh-tokoh perempuan yang jago menulis sastra seperti Suwarsih Djoyopuspito, seorang guru perempuan di tahun 1938-1939, pernah menulis novel. Kemudian juga Partini (seorang putri dari Pura) Mangkunegara," kata Ar-Razy sejarawan yang mengajar di Universitas Negeri Surabaya kepada BBC News Indonesia.
Meskipun Menteri Kebudayaan mengatakan kepada media, buku itu revisi dan penambahan terhadap penemuan baru, juga pelurusan sejarah yang perlu diklarifikasi berdasarkan kajian.
Narasi yang berkembang indonesia dijajah 350 tahun masalahnya, padahal itu tidak benar. Istilah itu dipakai Bung Karno yang pertama kali dikatakan Gubernur Jenderal De Jong untuk menyadarkan rakyat agar jangan lama lagi dijajah. Demi melecut rasa nasionalis rakyat masa itu, namun sayang, gagal dipahami sehingga "diyakini" kebenaranannya.
Kepala Tim penyusunan buku sejarah, Susanto Zuhid, memastikan tidak ada arahan juga pesanan apa pun dalam penyusunan buku ini. Singkatnya, pemerintah tidak ikut campur terkait subtansinya.