Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, mental, politik dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menguak Misteri Puasa di Akhir Ramadan Dengan Penuh Kesadaran

26 Maret 2025   07:02 Diperbarui: 26 Maret 2025   07:02 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mencari Misteri Makna di Akhir Ramadan. (Sumber: Jatim Network)

Ramadan semakin matang saja, tinggal beberapa hari lagi meninggalkan kita atau mungkin kita yang duluan meninggalkan Ramadan. Tidak ada yang tahu dan tak usah dicari tahu. Semua masih misteri seperti kita yang sampai saat ini---atas rahmat Allah---masih terjaga puasa.

Meski godaannya tidak mudah. Bahkan sebelum ramadan sudah panik dulaun, bagaimana beraktivitas dennga perut kosong. Terlepas dari itu, ramadan menyisakan misteri aneh yang membuat kita merenung. Kenapa anak sekecil lima sampai enam tahun mampu bertahan puasa, kalah jauh sama mereka yang mengaku sudah dewasa. Bahkan, ada usia tiga tahun tetap berusaha, kuat bertahan menjalani puasanya.

Meski sering merengek, sering menangis dan merajuk. Tapi tetap puasa. Betapa aneh, ada yang paruh baya---badannya masih kuat, pikirannya masih segar dan rajin mengumpulkan nafkah di kegersangan siang yang menggigit , sudah berapa puasanya bolong karena alasan "tidak kuat" karena letih.

Puasa ini memang punya misteri.

Misalnya, saudara iparnya adik saya, anaknya masih berusia 3-4 tahun. Dari hari pertama sampai sekarang masih terjaga puasanya, kadang suka digodain sama adik saya diberi cemilan, eh itu bocah menjawab, "Gak bolehlah Umi, masa puasa makan," gitu katanya.

Di bulan puasa ini memang aneh, kenapa banyak dari kita mengeluh terlalu banyak pengeluaran di banding hari biasanya. Kita banyak yang merasa, di bulan ini banyak sekali daftar keungan yang menumpuk. Ekonomi keluarga tengah deficit anggaran.

Tubuh kita menyusut, kenapa uang di kantong pun ikut pula menjerit? Padahal dipikir-pikir, kita malam cuma di malam hari, itu pun degan porsi yang tidak sama seperti hari biasa. Pas buka dan sahur, selebihnya hanya pelengkap saja. Kok bisa-bisa deficit?

Apakah Ramadan memang bulan yang membuat deficit? Apa kita saja yang salah memahami makna dan defisini Ramadan selama ini? Kita misalnya masih berpikir, Ramadan tentang menahan lapar dan haus siang hari. Menahan gejolak syahwat meski pada isterinya sendiri.

Kita belum berpikir, Ramadan ini momen bukan sekedar rutin memikirkan perpindahan jadwal isi perut. Seharusnya Ramadan itu, meminjam istilah Guru Gembul kehilangan makna. Berbeda kita memahami Ramadan di masa lampau dan di masa sekarang.

Kalau Ramadan dulu, dimaknai sebagai melatih kepekaan kita kepada orang yang kelaparan, miskin, lemah, papa dan sendiri alias jomblo akut. Bagaimana siang perut terasa menyanyi dengan Simponi dan tubuh terasa lemas lagi bergetar. Di saat mana kita pun harus ikhtiar berkerja menjemput takdir rejeki.

Begitulah orang miskin merasa. Saat pulang kerja, terlihat menu takjil, asesoris yang bagus, mereka hape baru, busana yang menarik dan tren lagi menggila-gila, lantas kita bicara pada diri, "aku lagi puasa, maaf ya, jiwa," padahal uang ada, kuasa ada tapi kita ingin memaknai puasa dengen sebenarnya.

Begipun ketika tergoda berburu THR, yang lain sudah ke sana ke mari buat bekal hari raya, kita berpikir, "Sudahlah, syukuri yang ada. Kalau datang saya terima, kalau tak ada saya tak akan bawa proposl kesana ke maria palagi sampai mengancam macam ormas-ormas radikal akhir ini. Aku puasa!"

Begitupun ketika puasa, meski perut lapar, isi kepala menumpuk, eh syahwat naik. Kita tidak berpikir cari pelampiasan di luar, apalagi sampai open BO di kamar orang. Atau membuang cairan dengan keperkasaan yang kita miliki. Atau memaksa isteri sendiri untuk olahraga bersama. Padahal bisa, padahal kuasa, dan punya tak macam para jomblo yang sering resah dengan keresahannya.

Di fase ini, kita bisa menahannya. Mulai dari mata yang memandang hanya pada pandangan yang benar. Mata kita tidak diproyeksikan untuk melihat keindahan tubuh lawan jenis yang kita lihat, saksikan dan imajinasikan. Baik di layar media maupun nyata.

Mata ini, justeru melihat keindahan yang ada untuk merenungkan keagungan Tuhan. Tiap indah, cantik, elok dan paripurna kita menyebut kebesaran Allah di sana. Di balik tubuh indah perempuan, kita melihat bukan sekedar fisik tapi kita melihat tanda-tanda pencipta yang Maha Pencipta, kenapa mencipta hasil sempurna begitu.

Ketika melihat laki-laki rupawan dengan segala ke-eksotisan-nya, kita melihatnya, sebuah titisan Nabi rupawan yang tercatat di ayat suci. Kita merenungkan ayat itu, surat itu, ujian nabi rupawan itu. Apa hikmah di baliknya dan segala hal perihal keajaiban Tuhan di sana.

Ya, Ramadan ini momen bukan sekedar aktivitas menjemukkan. Soal kesal harga naik, memikirkan isi perut kosong, soal emosi yang kerap terpancing, soal biaya mudik, soal kebijakan politik, soal korupsi, soal premanisme atau soal BBM yang ternyata bisa juga di oplos. Betapa juta dan ribu orang terbodohi oleh segelintir manusia, yang tak memikirkan orang yang lapar, haus dan lelah memikirkan kebutuhan hidupnya. Mereka memikirkan isi perut dan keinginanya saja.

Ramadan ini, seharusnya pula jadi renungan para petinggi negeri yang diberi berkah amat banyak. Agar sadar, ia dan rakyatnya tidak hanya butuh isi perut saja. Makan dan minum saja. Kita sama-sama butuh, kebijakan yang membuat  isi kepala kita yang cukup, isi hati yang bersih dan isi iman yang kokoh.

Untuk kita lebih jernih memaknai hidup. Untuk kita lebih sadar atas jiwa kita. Untuk kita benar memaknai puasa, tidak hanya sekedar menahan lapar dan haus. Akhlaknya tak berubah, lisan masih pedas tak berguna dan hati penuh dengki nan durja.

Semoga kita yang tetap terjaga di detik akhir Ramadan masih semangat menggali misterinya, agar nanti memeluk syawal dengan penuh kefitrian. Wallahu'alam. (***)

Pandeglang, 26 Maret 2025   6.42

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun