Beberapa pekan lagi Ramadan menyapa kita, semoga saja ada umur juga sehat pas bulan istimewa itu hadir. Dengan begitu, kita (bagi muslim) bisa maksimal mengumpulkan berbagai pahala yang tersebar di setiap detik, menit, pun hari yang menyertainya.
Ada hal yang menggemaskan tiap Ramadan hadir, entah kebetulan atau tidak, saya (selalu) teringat dengan tulisannya rekan di Komasiana, perihal "Di Arab Tidak Ada Imsak", yang mana menyorot istilah Imsak di negeri tercinta yang di Arab sana gak ada, begitu pengalamannya selama menjadi TKI. Imsak di Indonesia itu rancu. Bagaimana rancu, lima belas menit sebelum subuh disebut Imsak. Artinya apa, kagak boleh makan dan minum.
Padahal di waktu itu masih dibolehkan, makan dan minum. Di kita kok berhenti alasannya sudah imsak. Imsak sendiri itu istilah dari puasa, secara bahasa kan begitu.
Jadi apa dasarnya kok menjadi "aturan baku" di Indonesia ini. Bukannya tak ada riwayat ke nabi. Tak pula dilakukan di masa sahabat. Apa ini bukan bentuk dibuat-buat? Sedangkan jelas, segala dibuat-buat dalam agama itu bid'dah dan neraka segala warnanya adalah tempat kembalinya.
Membaca itu sungguh saya gemas. Bagaimana tidak gemas, imsak itu hanya istilah lain dari "berjaga-jaga". Berjaga-jaga agar tidak kedodoran waktunya, saat Anda makan atau minum untuk berhati-hati. Akan lebih baik memang berhenti.
Apa dilarang makan atau minum? Tidak, cuma anjuran. Kalau Anda masih lapar dan ingin lanjut makan, ya silahkan. Cuma harus hati-hati. Itu saja. Gak ribet.
Ada pun soal puasa juga artinya imsak, sepertinya tiap santri pun tahu itu. Orang awam di kita pun tahu. Terus kenapa masih dipraktekkan? Menghargai para kiai atau sesepuh dulu. Imsak itu produk budaya yang bercorak agama. Hanya identitas kebangsaan kita yang jadi istiadat.
Kenapa dipertahankan? Karena secara hukum juga tidak ada persoalan. Puasanya tetap sama. Aturanya sama. Singkatnya, tak benturan masalah prinsip di sini, maka lucu kalau menggunakan "imsak" langsung dicap neraka.
Kalau di Arab tidak ada praktek 'imsak' tersebut, ya sudah. Tidak harus sama juga, mungkin soal budaya juga kebutuhannya  yang lain. Tidak semua yang "tidak sama" dengan Arab lantas dicap anti Arab atau sejenisnya.
Biarlah perbedaa itu menjadi warna. Masalahnya bukan di "imsak atau tidak", selama pokoknya sama, ya sudah. Berbeda penafsiran soal ajaran agama bukan hal tercela selama tidak keluar dari pakem yang telah disepakati.