Mohon tunggu...
Mahfudz Tejani
Mahfudz Tejani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bapak 2 anak yang terdampar di Kuala Lumpur

Seorang yang Nasionalis, Saat ini sedang mencari tujuan hidup di Kuli Batu Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur. Pernah bermimpi hidup dalam sebuah negara ybernama Nusantara. Dan juga sering meluahkan rasa di : www.mahfudztejani.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Murangkek", Tapak Situs Sejarah Madura yang Terbiar

6 September 2021   18:08 Diperbarui: 6 September 2021   18:21 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keberadaan situs tapak sejarah kuno yang berada di dusun Nepa, desa Nepa, Kecamatan Banyuates, kabupaten Sampang, mengundang perhatian masyarakat umum.

Konon, situs tapak kuno ini ada kaitannya dengan peradaban awal masyakarat Madura. Merupakan peninggalan petilasan Dewi Bendoro Agung (Dewi Rorogung) dan putranya, yaitu Raden Segoro. 

Tapak sejarah seluas sekitar sehektar ini, tidak jauh dari lokasi Eko Wisata Hutan Kera Nepa. Hanya dibatasi oleh sebuah sungai, yang menjadi pintu masuk nelayan sejak dahulu kala. 

Di areal ini yang dipenuhi batu-batu yang  tersusun rapi ini, ada dua buah sumur berdampingan., Yaitu sumur laki-laki dan perempuan. Kedua buah sumur ini hanya berjarak setengah meter. Warga sekitar menyebutkan "Murangkek atau sumur se arangkek ( sumur yang saling berapit)"

Keberadaan situs sejarah ini bukan diketemukan baru saja, tapi sudah lama adanya dan terkesan dibiarkan. Karena menurut warga sekitar terkesan angker dan aura mistiknya cukup kuat.

Konon air kedua sumur itu dipercayai bisa menyembuhkan segala penyakit dan dipergunakan untuk keselamatan diri.  Kemudian juga, air tersebut dipercayai bisa merukunkan istri, bagi lelaki yang sedang berpoligami.

Pada Minggu lalu, organisasi kepemudaan desa Nepa dan para warga berinisiatif membersihkan areal tersebut. Karena terlalu kotor dan bambu-bambu di sekitarnya tumbuh semrawutan. Setelah itu dibangunlah pondok kecil, sebagai  tempat istirahat bagi orang yang datang ke areal ini.

Kemudian mereka merencanakan, agar setiap bulan sekali diadakan pengajian dan tahlilan. Agar areal bersejarah ini dapat dipantau, baik kerusakan dan kebersihannya.

***
Areal situs sejarah di atas tidak dapat dipisahkan dengan cerita rakyat tentang Raden Segoro dan ibunya (Dyah Cendrawati) Dewi Bendoro Agung. Cerita ibu dan anak yang dibuang kakeknya dari keraton, Prabu Gilingwesi raja Medang Kamulan.

Konon Dewi Bendoro Agung hamil tanpa suami, sebagai putri raja, tentunya ini tamparan dan sumber malu bagi kerajaan Medang Kamulan. Untuk menutupi hal tersebut, maka Prabu Gilingwesi memanggil patihnya, Patih Pranggulang agar membunuhnya.

Patih Pragulang tidak tega untuk membunuh Dewi Bendoro. Akhirnya Patih Pranggulang membuatkan rakit dan menaikkan Dewi Bendoro, kemudian mendorongkan ke laut. Beliau berpesan, apabila membutuhkan bantuannya, cukup sebut namanya dan hentakan kaki ke bumi tiga kali.

Kemudian rakit itu kandas di perairan sebelah Utara Madura, tepatnya di desa Nepa. Saat menunggu kelahiran putranya, Dewi Bendoro memanggil Patih Pranggulang seperti mana yang diajarkannya. Akhirnya lahirlah bayi tampan, yang diberi nama Raden Segoro.

Dari kecil, Raden Segoro "Sang Putra Lautan" mempunyai dua mainan, yaitu dua ekor naga berbadan ikan terbang. Namun di kemudian hari, dua ekor naga tersebut dijadikan alat pusaka oleh Patih Pranggulang, bernama Aluguro dan Nenggolo.

Semakin remaja, Raden Segoro semakin lihai bermain silat dan ilmu kanuragannya semakin tinggi. Patih Pranggulanglah yang mengajari semua Kanuragan dan tehnik bermain senjata tajam. 

Patih Pranggulang juga dikenali sebagai  K Polng oleh masyarakat Madura, karena selalu berpakaan hitam komprang dan kaos putih bergars merah tebal dengan pakai sabuk pk (ikat ikat pinggang yang lebar).

Suatu ketika, kerajaan kakeknya, Medang Kamulan diserang Cina. Maka Raden Segoro dan Patih Pragulang pulang ke Medang Kamulan, ikut membantu menggagalkan invasi Cina kala itu.

Setelah mampu mengusir pasukan Cina, Akhirnya Raden Segoro lebih memilih pulang ke Madura untuk berkumpul bersama ibunya, Dewi Bendoro Agung. Suatu ketika, Raden Segoro bertanya kepada Dewi Bendoro, siapa ayahnya dan dimana sekarang?

Dewi Bendoro tidak mampu menjawabnya dan hatinya menjadi gundah gulana. Akhirnya Dewi Bendoro membawa gundahnya ke sebuah hutan yang bernama Nepa. Beliau bertapa untuk mencapai kemuksaanya.

Selama bertapa di hutan Nepa, beliau dijaga oleh sekelompok kera-kera yang ada di dalamnya. Konon, kera-kera itu adalah prajurit atau pasukan Raden Segoro.

***
Mengenai keberadaan kerajaan Medang Kamulan, para ahli sejarah masih berselisih pendapat tentang keberadaannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun