Flare dan kembang api menyala terang mewarnai stadion I Wayan Dipta Gianyar Bali, disaat Bali United menjamu Persija Jakarta dalam penghujung kompetisi liga Indonesia (2/12/18). Apakah Suporter Pasukan Tridatu sedang berpesta, walaupun Bali United sebagai tuan rumah rebah di kandang sendiri ?
Suporter "Pasukan Tridatu" Bali United sedang berpesta, bersorak dan berjingkrak meluapkan kekecewaanya atas apa yang terjadi pada klub kesayangannya. Seperti mana isu yang berkembang, sebelum pertandingan dimulai sudah ada rumor bahwa Bali United akan kalah pada tim tamu, yaitu Persija Jakarta.
Suporter  mana yang tidak akan kecewa, melihat klub kesayangannya diperlakukan begitu. Suporter mana yang tidak akan marah, melihat klub kebanggannya diacak-acak begitu? Pesta flare dan kembang api menjadi alat pelampiasan rasa kekecewaanya, walaupun sadar ada konsekuensi yang sudah menunggu atas kejadian ini.
Konsekuensinya adalah klub kesayangannya, yaitu Bali United  akan menerima dan mendapatkan sanksi dari PSSI, sebagai federasi yang menaunginya. Menyalakan flare/suar/bom asap yaitu sanksi berupa denda sebesar USD 5,000 atau 70 juta rupiah (jika ada satu flare menyala), USD 10,000 atau 140 juta rupiah (jika ada dua sampai 5 flare menyala), USD 20,000/280 juta rupiah (jika ada enam sampai sepuluh flare menyala).
Pembakaran flare dan kembang api di dalam stadion, sememangnya dilarang keras dalam dunia sepak bola. Hal ini juga berlaku di peringkat internasional seperti mana yang telah ditetapkan oleh FIFA, termasuk didalamnya adalah UEFA (Eropa), CONMEBOL (Amerika), CONCACAF (zona benua dan pecahan benua), dan CAF (Afrika).
Tindakan yang dilakukan oleh suporter Bali United tersebut, hanya cerminan kecil dari kekecewaan suporter-suporter yang sudah  muak dan marah atas ambruknya moralitas sepakbola Indonesia saat ini. Aksi spontanitas para suporter tak digubris oleh PSSI dan nyanyian kekecewaan tak didengarkan oleh PSSI. Kemana lagi para suporter harus mengadu dan beraksi, agar fair play dan moralitas kembali menaungi dunia sepak bola Indonesia.
Sudah saatnya stake holder sepak bola Indonesia seperti PSSI, para manajer klub , aparatur pengaman, APPI, media, dan pemimpin kelompok suporter mengambil tindakan drastis atas kemelut dan tragedi sepakbola nasional selama ini.
Sudah saatnya kepengurusan sepak bola diberikan kepada orang sepak bola sendiri. Orang yang mengerti seluk beluk sepak bola atau  orang yang mempunyai serta faham roh dunia pesepakbolaan tanah air.
Jauhkan sepakbola Indonesia dari orang atau golongan yang hanya menjadikan dunia sepakbola sebagai alat memperkaya diri, serta lahan untuk mendulang suara dalam kelangsungan dunia politisinya.
Semua itu tidak akan terjadi, apabila para stake holder sepakbola Indonesia sepakat dan sehati untuk melakukan revolusi dalam tubuh dunia sepak bola Indonesia. Andaikata masih setengah hati dan masih mementingkan klubnya masing-masing, maka tunggulah rebah dan tersungkurnya sepak bola Indonesia sebentar lagi.
Salam dari Kuala Lumpur
#KembalikanRohSepakbolaIndonesia
#SingkirkanPolitisidariSepakbolaIndonesia