Mohon tunggu...
Ida Wayan Mahendra
Ida Wayan Mahendra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S2 Ilmu Manajemen Universitas Pendidikan Ganesha

Hobi Badminton

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pajak Karbon, Strategi Fiskal dalam Mengatasi Perubahan Iklim Global

6 Desember 2023   08:00 Diperbarui: 7 Desember 2023   19:00 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gas karbon dioksida. Sumber: www.pexels.com

Perubahan iklim global merupakan tantangan yang menjadi ancaman serius tidak hanya bagi manusia tetapi juga bagi makhluk hidup lainnya. Perubahan iklim yang sangat ekstrem disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adanya peningkatan emisi gas rumah kaca. Efek rumah kaca merupakan fenomena alami dimana gas tertentu yang berada pada atmosfer bumi menyerap dan memancarkan kembali sebagian dari radiasi panas yang dipancarkan oleh permukaan bumi. 

Gas-gas tersebut, seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan uap air (H2O) yang bertindak seperti "kaca" pada rumah kaca, membiarkan cahaya matahari masuk ke atmosfer dan menghangatkan permukaan bumi. Namun, gas-gas ini juga membatasi jumlah panas yang dapat keluar dari atmosfer, sehingga menyebabkan peningkatan suhu global, kenaikan permukaan laut, gangguan ekosistem, gangguan pada pertanian dan kehilangan keanekaragaman hayati.

Efek rumah kaca disebabkan oleh emisi karbon yang timbul akibat dari peningkatan pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, hasil gas metana dan nitrogen oksida pada pertanian dan peternakan, emisi gas CO2 pada industri, penggunaan Freon dan CFC pada teknologi pendingin, AC dan aerosol serta pengelolaan limbah yang menghasilkan gas etana. Meningkatnya laju produksi CO2 ini jauh lebih cepat dari pada produksi O2 yang merupakan senyawa penting untuk keberlangsungan hidup kita. 

Sehingga pada 12 Desember 2015, sebanyak 195 negara termasuk Indonesia, menyepakati perjanjian iklim global yang dikenal sebagai Perjanjian Paris (Paris Agreement). Perjanjian ini bersifat sukarela, dimana semua negara yang menyepakatinya berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan memastikan suhu global tidak naik lebih dari 2C serta menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 1.5C. Perjanjian Paris ini mulai berlaku efektif sejak 4 November 2016.

Menindaklanjuti perjanjian tersebut, pemerintah Indonesia memunculkan kebijakan berupa Pajak Karbon, dimana pajak karbon digunakan sebagai strategi fiskal untuk memotivasi perubahan perilaku ekonomi dan mentransisi perilaku ekonomi menuju ekonomi berkelanjutan dalam mengatasi perubahan iklim. 

Selain berfungsi sebagai instrument budgetair (pendanaan), pajak juga memiliki fungsi sebagai regularend dimana pajak ditempatkan sebagai instrument pemerintah untuk mengatur berbagai kebijakan di bidang ekonomi ataupun bidang lainnya dan fungsi inilah yang digunakan oleh pemerintah dalam memanfaatkan pajak sebagai solusi untuk mengatasi perubahan iklim sekaligus mendapatkan manfaat ekonomi dari penerapannya.

Pajak karbon di Indonesia diatur dalam undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Indonesia telah menjadi salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di Negara berkembang, yang akan mengimplementasikan pajak karbon lebih dahulu. 

Berdasarkan UU HPP, pajak karbon dikenakan kepada wajib pajak orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. 

Pajak karbon di Indonesia untuk saat ini diterapkan dengan skema cap and tax yang di mana akan diintegrasikan dengan kebijakan cap and trade. Cap and Trade adalah kebijakan terhada pentitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap diwajibkan membeli sertifikat izin emisi (SIE) entitas lain yang emisinya di bawah cap. Entitas juga dapat membeli sertifikat penurunan emisi (SPE), sementara Cap and Tax adalah skema pemajakan yang ditujukan untuk sisa emisi yang belum bisa ditutup dengan pembelian SIE.

Sebagai sebuah kebijakan yang sangat strategis dalam penanganan perubahan iklim, pengenaan pajak karbon memberikan sinyal kuat yang akan mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan. Dalam konteks pembangunan, penerimaan Negara dari pajak karbon dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun