Siswa: “Tapi kalau tidak ketahuan?”
Guru: “Tetap dosa. Malaikat mencatat semuanya, meskipun manusia tidak tahu.”
Dalam pendekatan ini, menyadarkan orang (siswa) untuk selalu berbuat jujur bukan ditujukan pada efek duniawi-nya, melainkan pada konsekuensi spiritual yang bersifat abstrak dan berada di luar ranah empiris. Praktik pengajaran ilustrasi yang kedua sering dipraktikan oleh guru-guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah khususnya guru-guru agama.
Pendidikan Agama dan Dogmatisme
Di banyak sekolah, terutama di negara-negara dengan mayoritas beragama seperti Indonesia, pengajaran agama masih berlangsung secara dogmatis. Guru agama lebih banyak menekankan pada hafalan ayat, larangan, dan ancaman ketimbang membuka ruang dialog dan diskursus. Siswa diajari bahwa sesuatu itu salah karena kitab suci berkata demikian, bukan karena mereka diajak memahami mengapa hal itu salah secara rasional maupun sosial.
Kondisi ini menciptakan pembelajaran satu arah, di mana guru menjadi otoritas mutlak dan siswa menjadi penerima pasif. Keterampilan berpikir kritis yang semestinya dikembangkan dalam pembelajaran justru menjadi tumpul. Ketika siswa mencoba bertanya “mengapa” suatu ajaran diberlakukan, respons guru terkadang justru bersifat represif, seolah mempertanyakan adalah bentuk pemberontakan terhadap iman.
Dosa Versus Konsekuensi
Dosa, dalam pendidikan agamis, merupakan pelanggaran terhadap hukum ilahi. Namun, masalahnya, dosa bersifat abstrak dan tidak langsung terlihat dampaknya. Banyak dari konsekuensi dosa disebut terjadi setelah mati — neraka, siksa kubur, atau murka Tuhan. Ini menjadikan konsep dosa sulit dipahami oleh anak-anak dan remaja secara konkret.
Sebaliknya, pendidikan sekuler menggunakan pendekatan berbasis konsekuensi empiris. Ketika seseorang melanggar norma atau aturan, ada akibat langsung yang dapat diamati, seperti kerugian ekonomi, kehancuran hubungan sosial, atau hukuman hukum. Model ini lebih mudah dipahami dan dicerna dalam konteks dunia nyata.
Namun, bukan berarti pendekatan sekuler bebas dari kelemahan. Terlalu menekankan konsekuensi duniawi dapat membuat seseorang bersikap oportunis: selama tidak ketahuan atau tidak ada hukuman langsung, pelanggaran bisa dianggap sah-sah saja. Pendidikan sekuler juga kurang berkontribusi pada ketangguhan mental. Beberapa negara eropa yang dipandang memiliki corak pendidikan sekuler yang maju, agnostik dan ateis, ternyata angka bunuh diri-nya cukup tinggi.
Guru Agama dan Mitos Ketakutan