Mohon tunggu...
I Putu Hendra Mas Martayana
I Putu Hendra Mas Martayana Mohon Tunggu... Dosen - pendulumsenja

Ik Ben Een Vrijmaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menakar Nasionalisme Indonesia dari "Kiri"

4 September 2018   08:02 Diperbarui: 4 September 2018   08:22 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Max menyebut pemerintah "takut" jika generasi muda mengenal Pram maupun karya-karya sastrawan besar Indonesia lainnya, rakyat akan sadar mengenai perlawanan dan sejarah bangsa yang sebenarnya.

Minimnya pengetahuan mahasiswa tentang sastra "kiri" seperti Pram yang tulisannya  berguna membaca nasionalisme Indonesia sejalan dengan ketidaktahuan mereka terhadap  Indonesianis "kiri" yang tulisan-tulisannya sempat dibredel di era Orde Baru.

Benedict Anderson misalnya, merampungkan "imagined communities" di tahun 1983 dan dicetak ulang di tahun 1991. Ketakutan Orba terhadap bertumbuhnya sikap kritis melalui bacaan "kiri" membuat buku itu dilarang beredar meskipun setting nya Vietnam.

Penulisnya pun sempat mendapat pencekalan. Seperti halnya Marx yang menulis Das Capital dengan setting Inggris Raya tetapi sebenarnya ditujukan utuk menyentil bangsanya, Jerman, begitu pula yang dilakukan Ben, setting Vietnam hanya metafora sosial untuk menyentil nasionalisme Indonesia yang dianggap "sakral" dan "suci" itu, namun memiliki kerapuhan-kerapuhan di dalamnya. 

Ben menawarkan suatu gagasan pokok untuk menjelaskan fenomena nasionalisme. Mengapa orang yang belum pernah bertemu bisa merasakan nasib yang sama, bersaudara.

Dalam kasus Indonesia, pemikiran Ben bisa dipakai untuk menelusuri bertumbuhya nasionalisme Aceh, nasionalisme Jawa, nasionalisme Borneo, dan nasionalisme Celebes menjadi "nasionalisme Indonesia".

Padahal mereka tidak pernah bertemu sebelumnya. Pada tahap ini Ben menyatakan bahwa karena rasa persaudaraan Indonesia itu tidak bisa dialami secara langsung maka harus dibayangkan terlebih dahulu.

Ben menyebut kapitalisme cetak seperti koran, majalah dan buku sastra yang baru mucul pada akhir abad XIX sebagai pihak yang paling bertanggung jawab mendorong sesuatu yang dibayangkan itu menyeberangi batas etnik, agama dan ras.

Meski kemudian Ben juga menawarkan alternatif lain seperti kehadiran transportasi massal, namun perhatian terbesarnya adalah media cetak.

Dengan mengarahkan perhatian ke media cetak sebagai arus utama pembentuk nasionalisme Indonesia, Ben menyindir anakronisme Yamin dalam bukunya "6000 Tahun Sang Merah Putih" (terbit 1958), bahwa identitas nasional Indonesia bukan sesuatu yang alamiah melainkan konsep baru yang dapat dibayangkan melalui kehadiran teknologi cetak sebagai pengedar gagasan bangsa sekaligus bukti untuk memungkinkannya.

Aktualisasi teknis pemikiran Ben lebih lanjut dikembangkan oleh Rudolf Mrazek dalam bukunya "The Engineers of Happy Land.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun