Rokok Elektronik Bukan Solusi
dr. Laura juga menepis anggapan bahwa rokok elektronik lebih aman.
"Rokok elektronik tetap mengandung nikotin, logam berat seperti nikel dan timbal, serta zat perasa kimia yang merusak makrofag alveolar---sel pelindung paru. Itu justru meningkatkan risiko terpapar bakteri TBC," ungkapnya.
WHO dan CDC juga menegaskan bahwa rokok elektronik tidak terbukti membantu seseorang berhenti merokok. Banyak penggunanya tetap mengisap rokok konvensional bersamaan.
Indonesia Darurat Perokok, Darurat TBC
Berdasarkan WHO Global Health Observatory 2024, 73,1% laki-laki dewasa di Indonesia merokok, menjadikan Indonesia negara dengan prevalensi perokok tertinggi keempat di dunia.
Kondisi ini memperburuk penyebaran TBC --- penyakit yang menular lewat udara ketika penderita batuk atau bersin.
Sebanyak 17,6% kasus TBC dan 15,2% kematian pasien TBC di Indonesia berkaitan langsung dengan kebiasaan merokok.
Indonesia bahkan menempati urutan kedua dunia untuk kematian TBC akibat rokok, setelah Rusia.
Suara dari Penyintas: "Leher Saya Bolong karena Nikotin"
Di sela kegiatan, Bapak Daniel, yang kini menjadi penyintas kanker tenggorokan, memberikan testimoni yang menyentuh.
Dengan suara serak yang keluar melalui lubang kecil di lehernya, ia menceritakan bagaimana rokok mengubah hidupnya.
"Dulu saya pikir rokok hanya bikin batuk. Sekarang leher saya bolong, harus bernapas lewat sini," ujarnya sambil menunjuk lubang di bawah pita suaranya.
"Saya himbau kalau mau merokok, jangan di rumah. Merokoklah di luar, jangan sampai anak dan keluarga ikut menghirup racun yang saya hirup dulu. Jangan tunggu sampai terlambat seperti saya."