Siapa sangka: seorang anak yatim piatu dari Minahasa bisa bikin pemerintah pusat kelabakan. Polisi, BSSN, Kominfo, bahkan menteri-menteri harus gelagapan memberi konferensi pers. Gara-gara satu nama: Bjorka.
Saya ingat pertama kali nama itu mencuat, September 2022. Media sosial gaduh. Telegram penuh bocoran. Forum-forum gelap tiba-tiba ramai dengan "dokumen rahasia" yang katanya dari jantung birokrasi kita. Lalu sampel data KTP, SIM, paspor, sampai nomor telepon pejabat beredar. Negara seolah telanjang di depan publik.
Bjorka bukan nama asli. Itu hanya topeng. Tapi topeng ini lebih kuat daripada nama asli siapa pun. Ia mengaku tinggal di Eropa. Kadang menulis dengan bahasa Inggris yang kaku, kadang bahasa Indonesia campur kasar. Banyak yang percaya dia orang luar. Banyak juga yang curiga, jangan-jangan ini anak Indonesia sendiri, yang sakit hati, lalu membalas dengan cara paling sadis: membocorkan aib digital.
Kebocoran demi kebocoran meledak. Data jutaan warga ditawarkan di forum. Sampai data paspor, SIM card, bahkan pelanggan PLN. Nilainya? Tidak main-main. Milyaran rupiah kalau semua dijual. Tapi Bjorka tidak hanya jualan. Ia juga ingin show off. Ingin mempermalukan pejabat.
"Negaramu payah menjaga data warganya," kira-kira begitu pesan yang tersirat.
Polisi bergerak. Kominfo sibuk. BSSN jadi sasaran. Pemerintah malu. Presiden sendiri harus menenangkan publik. Negara sebesar ini bisa kalah oleh satu nama?
Tapi dunia siber memang begitu: satu orang, satu laptop, bisa bikin ratusan pejabat tak bisa tidur.
Lalu muncul kabar penangkapan. Dulu pernah ada MAH di Madiun. Pemuda miskin yang katanya menjual kanal Telegram. Publik meragukan: masak cuma dia?
Tiga tahun berlalu. September 2025, polisi mengumumkan lagi. Kali ini seorang pemuda 22 tahun. Yatim piatu. Tinggal di Kakas Barat, Minahasa. Namanya WFT.
Polisi bilang, dialah Bjorka.