Oleh: Mahar Prastowo
Baju itu indah sekali. Merah, hijau, putih, hitam. Tapi di Amsterdam, baju itu dianggap terlalu berisik.
Esther Ouwehand berdiri di podium parlemen Belanda. Ia sedang bicara soal anggaran nasional. Tapi sebelum isi pidatonya masuk ke telinga, bajunya lebih dulu menyambar mata: persis bendera Palestina.
Ketua parlemen, Martin Bosma, langsung angkat palu. "Parlemen harus netral," katanya.
Esther disuruh keluar. Untuk ganti baju.
Dan ia menurut. Keluar ruangan. Beberapa menit kemudian kembali lagi dengan kemeja merah muda berbintik-bintik hitam, dipadu celana hijau.
Apakah kombinasi itu sudah "netral"? Atau tetap penuh tafsir?
Di Eropa, aturan memang bisa begitu tekstual. "Netral" dimaknai sampai ke warna kain. Seolah-olah politik hanya terjadi ketika seseorang mengucapkannya dengan suara. Padahal simbol lebih sering bekerja tanpa suara.
Esther justru menang. Foto blusnya sudah beredar ke seluruh dunia. Parlemen Belanda ingin meredam simbol. Tapi yang lahir justru simbol yang lebih kuat: larangan itu sendiri.
Saya jadi teringat pada Indonesia. Di sini, justru baju adalah panggung utama politik. Dari jas kuning sampai seragam loreng, dari peci hitam legam sampai baju koko putih polos. Bahkan baju adat Nusantara pernah menjadi ajang "adu branding" di sidang tahunan MPR.