Mohon tunggu...
Mahar Prastowo
Mahar Prastowo Mohon Tunggu... Ghostwriter | PR | Paralegal

Praktisi Media dan co-PR -- Pewarta di berbagai medan sejak junior sekira 31 tahun lalu. Terlatih menulis secepat orang bicara. Sekarang AI ambil alih. Tak apa, bukankah teknologi memang untuk mempermudah? Quotes: "Mengubah Problem Menjadi Profit" https://muckrack.com/mahar-prastowo/articles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bendera Bajak Laut yang Bikin Penguasa Merasa Ditelanjangi

2 Agustus 2025   14:34 Diperbarui: 3 Agustus 2025   11:17 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di sebuah lautan fiksi, bendera hitam itu berkibar robek-robek. Tengkorak tersenyum lebar, memakai topi jerami. Tampak lucu, tapi juga menantang. Itulah bendera bajak laut Topi Jerami --- yang di dunia nyata justru jadi simbol paling dicintai anak-anak muda, dari sudut kota Jakarta sampai gang sempit di Surabaya.

Saya membayangkan bagaimana Monkey D. Luffy, pemuda polos dan keras kepala itu, tertawa lebar saat pertama kali melihat bendera itu dijahit Usopp. Bendera itu bukan sekadar kain hitam. Ia adalah deklarasi. Pernyataan perang.

Bahwa kebebasan lebih berharga daripada hidup nyaman.

Pukulan di Sabaody dan teriakan "Aku ingin hidup!"

Saya selalu ingat adegan di Kepulauan Sabaody. Seorang bangsawan langit, Tenryuubito, menembak teman Luffy --- seekor manusia ikan. Semua orang ketakutan. Tapi Luffy hanya menurunkan topi jeraminya, mengencangkan rahang, dan memukul sang bangsawan hingga terpental.

Adegan itu viral. Bukan cuma di komik dan anime. Tapi juga di hati kita yang diam-diam juga muak pada arogansi kekuasaan.

Atau saat Nico Robin, seorang arkeolog yang seumur hidup dikejar karena "dosa" mengetahui sejarah terlarang, akhirnya berteriak, "Aku ingin hidup!" --- sesudah Luffy dan kawan-kawannya membakar bendera Pemerintah Dunia demi menyelamatkannya.

Inilah inti dari bendera Topi Jerami: menolak tunduk, meski lawanmu seluruh dunia.

Menkau Sri Mulyani Indrawati (foto: Tangkapan Layar Fanpage SMI)
Menkau Sri Mulyani Indrawati (foto: Tangkapan Layar Fanpage SMI)

Yang marah adalah para penindas

Lucunya, di cerita One Piece, Pemerintah Dunia justru paling marah kalau ada kapal mengibarkan bendera Topi Jerami. Bukan karena takut dirampok. Tapi karena mereka tahu bendera itu adalah simbol perlawanan: bahwa sistem yang mereka bangun dianggap rusak.

Di dunia nyata pun serupa. Mereka yang paling marah pada simbol perlawanan --- entah itu bendera, lagu, atau mural --- sering kali adalah mereka yang takut topengnya tersingkap.

Yang tersinggung, biasanya, adalah mereka yang diam-diam sadar bahwa merekalah penindasnya.

Tengkorak dengan topi jerami

Apa istimewanya gambar tengkorak bertopi jerami?

Topi jerami itu diwariskan. Dari Roger ke Shanks. Dari Shanks ke Luffy. Dari generasi ke generasi, bukan harta atau takhta yang diwariskan --- tapi tekad untuk tetap bebas, apa pun harga yang harus dibayar.

Dan tengkorak, bagi Luffy dan kawan-kawannya, bukan lambang kematian. Tapi pengingat bahwa hidup terlalu singkat untuk dijalani sebagai budak.

Simbol yang jadi cermin

Aneh, ya. Sebuah bendera bajak laut --- yang semestinya menakutkan --- justru jadi simbol harapan.

Dan anehnya lagi, ia justru jadi cermin. Ketika ada yang marah besar melihat bendera Topi Jerami, mereka seolah mengaku sendiri: "Ya, sayalah yang kalian lawan. Sayalah yang menindas."

Lalu, siapa yang lebih "bajak laut" sebenarnya? Luffy dan kawan-kawannya? Atau mereka yang selama ini duduk nyaman di istana marmer, sambil menindas yang lemah?

Di akhir cerita, bendera itu tetap berkibar. Robek, penuh lubang bekas peluru. Tapi justru di sanalah letak keindahannya. Karena ia tak pernah tunduk.

Dan mungkin, dalam hati kecil kita masing-masing, kita juga ingin punya "bendera hitam" sendiri --- yang mengingatkan: hidup ini milik kita. Bukan milik mereka yang merasa paling berkuasa.


Fanpage SMI

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun