Oleh: Mahar Prastowo
Saya pernah makan malam di rumahnya di Blitar. Rumah Hj. Happy Djarot.
Rumah itu seperti dirinya: bersahaja, terbuka, dan tetap hangat meski tanpa protokoler.
Malam itu kami duduk mengelilingi meja makan. Di hadapan kami, opor ayam kampung, gudeg nangka muda, ikan goreng, lalapan, srundeng kelapa, dan---yang tak akan pernah saya lupa---sambel bledek. Sambal khas Blitar yang namanya saja sudah memperingatkan: pedasnya bukan main.
Sambel itu membakar lidah saya. Tapi lebih dari itu, ia membakar kesadaran bahwa politik bisa dimasak dan disajikan dengan ketulusan. Dan orang seperti Hj. Happy Djarot, ternyata, masih ada dalam politik Indonesia.
Jum'at malam, 18 Juli 2025. Saya kembali bertemu beliau. Kali ini bukan di dapur rumahnya, tapi di aula SMK Bhakti 1, Kelurahan Kebon Pala, Makasar, Jakarta Timur.
Ia datang bukan membawa sambal, melainkan membawa semangat.
Satu pilar, dua pilar, tiga pilar, empat pilar---semua dibawakannya malam itu dengan gaya yang tidak menggurui, tetapi menyentuh.
Dengan caranya sendiri, ia membuat nilai-nilai kebangsaan jadi renyah dicerna.
Acara malam itu bertajuk Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan.
Bukan seminar elitis, bukan pula seremoni formal. Yang datang: RW, LMK, FKDM, guru, kepala sekolah, wakil camat, Lurah, Sekkel, Kasipem, Pol PP, tokoh masyarakat, dan tentu saja para warga.
Hj. Happy Djarot berbicara sebagai anggota DPD RI Komite II---komite yang menangani bidang-bidang yang menyentuh langsung kebutuhan dasar rakyat: pertanian, kelautan, perikanan, energi, lingkungan hidup, perhubungan, koperasi, hingga pembangunan desa.
Beliau menyebutkan tugas-tugasnya dengan tidak membosankan. Kemudian menjawab keluhan warga soal gorong-gorong kecil yang tak mampu menampung air hujan dan luapan kali, jalan tertutup, hingga minimnya angkutan umum ke sekolah.
Saya mencatat satu hal penting dari ucapannya:
"RW dan LMK adalah ujung tombak negara. Kalau aspirasi mereka tak diperhatikan, jangan harap negara tahu apa yang sebenarnya dirasakan rakyat."