Oleh: Mahar Prastowo
Saya masih ingat, dua puluh tahun lalu, seorang ibu datang ke kantor koran kami. Wajahnya panik. Matanya sembab. Ia menenteng map berisi hasil Ujian Nasional anaknya. Nilainya bagus. Tapi anaknya tetap tidak lulus. Salah menjawab satu soal Matematika. Nilai di bawah standar. Ia datang bukan untuk protes, tapi untuk mengadu. Kepada siapa lagi kalau bukan ke media.
Hari ini, tak ada lagi ibu-ibu seperti itu yang datang ke redaksi. Bukan karena semua anak lulus. Tapi karena Ujian Nasional sudah tidak ada lagi.
Sekarang, sekolah dan siswa menghadapi sesuatu yang lain: Tes Kompetensi Akademik. Namanya memang lebih bersahabat. Tapi tekanan psikologisnya bisa sama atau bahkan lebih tinggi.
Jika dulu ujian nasional adalah palu yang bisa memutus nasib seorang siswa di bangku SMA, maka sekarang Tes Kompetensi Akademik (TKA) adalah gerbang sempit menuju kampus impian. Bedanya: yang satu mengadili masa lalu, yang satu memfilter masa depan.
Meninggalkan yang Dulu
Ujian Nasional itu seperti laporan akhir tahun. Sekolah mati-matian mengejar target. Anak-anak dicekoki latihan soal. Guru-guru stres. Kepala sekolah berdoa. Dan jika ada satu sekolah gagal mempertahankan angka kelulusan, kepala dinas bisa dipanggil gubernur.
Di sebuah SMP negeri, di pedalaman Sumatera, muridnya hanya belasan orang. Satu-satunya guru Matematika mengundurkan diri. Tidak tahan tekanan untuk "menjamin kelulusan". Guru agama diminta mengajar Matematika. Hasilnya bisa ditebak: UN menjadi momok.
Lalu datang Nadiem Makarim. Ia tiadakan Ujian Nasional. Bukan untuk memanjakan anak sekolah. Tapi karena dunia sudah berubah. Ia ganti dengan Asesmen Nasional. Bukan menguji anak, tapi memotret sistem belajar di sekolah.
Bukan anak yang disalahkan jika nilai rendah, tapi sekolah yang dibenahi.
Memasuki Era Kompetensi