Mohon tunggu...
Mahar Prastowo
Mahar Prastowo Mohon Tunggu... Ghostwriter | PR | Paralegal

Praktisi Media dan co-PR -- Pewarta di berbagai medan sejak junior sekira 31 tahun lalu. Terlatih menulis secepat orang bicara. Sekarang AI ambil alih. Tak apa, bukankah teknologi memang untuk mempermudah? Quotes: "Mengubah Problem Menjadi Profit" https://muckrack.com/mahar-prastowo/articles

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

"Diratakan"

15 Mei 2025   02:15 Diperbarui: 15 Mei 2025   02:23 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapolsek Kramatjati Kompol Rusit Malaka memimpin apel "Berantas Jaya 2025" (Foto:ist)

Saya tiba di Pasar Induk Kramat Jati saat malam baru menggulung langit Jakarta menuju pagi. Alih-alih cari buah, sejatinya sedang mengkonfirmasi kabar yang saya dengar, soal Kapolsek Kramat Jati yang membongkar sebuah posko ormas. Dengar-dengar dua hari lalu kepala PD Pasar Jaya Unit Kramat Jati nyaris dikeroyok karena mau melakukan penertiban. Media juga melaporkan dari iuran bulanan pedagang kaki lima, oknum ormas bisa mendapat 225juta perbulan, itu baru di satu titik.

Saya tak ingin lebih jauh menyelinap ke dalam. Bau aroma sayur-mayur busuk menguar menunggu dibersihkan.  Tapi malam itu bukan soal sayur. Bukan soal jual-beli. Malam itu soal sesuatu yang lebih dalam, yitu sebuah posko ormas yang menjadi simbol kekuasaan informal.

Rabu, 14 Mei 2025, malam.  Warga dan pedagang menyaksikan sebuah posko dibongkar---bukan oleh massa, bukan oleh kelompok saingan, tapi oleh negara. Lengkap dengan apel pasukan, penyisiran, dan protokol: "Berantas Jaya 2025."

Operasi itu dipimpin oleh Kapolsek Kramat Jati, Kompol Rusit Malaka. Ia bukan polisi yang banyak bicara. Tapi malam itu ia berbicara. Di lobi PD Pasar Jaya, ia berkata tegas:

"Kita ratakan posko ormas yang meresahkan. Bila ada preman, kita amankan."

Apel gabungan Polsek Kramatjati dalam penertiban premanisme di pasar. (foto:ist)
Apel gabungan Polsek Kramatjati dalam penertiban premanisme di pasar. (foto:ist)
Suasana seperti di film. Bukan film aksi, tapi dokumenter. Para personel---68 orang---bergerak seperti sudah hapal plotnya. Polisi, Satpol PP, babinsa, security pasar. Mereka tak teriak-teriak. Tak memaki. Hanya bekerja. Merobohkan. Menggulung. Menertibkan.

Yang dibongkar adalah Posko Ormas BPPKB Banten yang berdiri di belakang Musholla Darussalam. Bukan bangunan permanen, tapi simbol kekuasaan semi-formal yang kadang lebih ditakuti daripada petugas resmi. Posko itu bukan cuma tenda. Ia adalah 'kantor tak terlihat' tempat urusan-urusan pasar ditentukan---dari siapa yang boleh jualan, sampai siapa yang boleh lewat.

Saya sempat bicara dengan seorang pedagang sayur. "Kita sih ngga pernah berani nolak diminta jatah keamanan," katanya. Ketika saya tanya apakah ia pernah lapor ke polisi, ia menggeleng, lalu menambahkan, "Sekarang baru berani ngomong."

Laporan kepolisian menyebutkan bahwa pembongkaran berjalan lancar, selesai pukul 21.15 WIB. Tidak ada perlawanan. Tidak ada keributan. Tapi justru di situ dramanya. Dalam senyap malam Jakarta, satu struktur informal dihentikan oleh satu struktur formal---tanpa ledakan, tanpa peluru.

Di tengah operasi itu, saya berpikir tentang dua jenis kekuasaan yang ada di Jakarta: kekuasaan resmi yang memakai seragam, dan kekuasaan tak resmi yang memakai kaus organisasi. Dua-duanya mengatur. Dua-duanya dipatuhi. Tapi hanya satu yang bisa ditertibkan lewat surat perintah.

Dari salinan SK DPP BPPKB Banten, tertanggal 21 Februari 2025. Ada tanda tangan ketua umum dan sekjen. Ada nama-nama pengurus ormas di pasar itu: Rapiudin, Saepudin, Muhammad Dahlan, dan Anton. Semua rapi, resmi, dan sah secara organisasi. Tapi sah di atas kertas tidak selalu berarti sah di atas tanah.

Seorang petugas PD Pasar Jaya mengatakan, "Mereka memang punya SK, tapi tidak pernah ada izin pendirian posko di lahan ini."

Negara datang malam itu untuk menjelaskan bahwa tanah negara bukan tempat kompromi. Bahwa keamanan tidak boleh dijual bebas dalam bentuk pungutan.

"Kami tidak menyasar organisasi, tapi perilaku oknum yang melanggar hukum," tegas seorang petugas.

Saya pulang dengan perasaan ganjil. Di satu sisi, senang melihat negara hadir. Di sisi lain, saya tahu ini belum selesai. Karena kekuasaan informal itu tidak mati---ia hanya pindah. Bisa ke pasar lain. Bisa ke terminal. Bisa ke lapak mana saja yang ruangnya longgar.

Negara harus lebih cepat dari pergeseran itu. Karena yang kita hadapi bukan hanya oknum ormas yang negara sebut sebagai preman, tapi sistem---yang kadang lebih rapi daripada institusi resmi.

Posko itu sudah rata.  Tapi saya yakin, malam itu, di banyak tempat lain, posko serupa masih berdiri. Dan oknum ormas yang negara sebut sebagai preman-preman itu masih percaya: selagi negara belum datang, merekalah yang berkuasa.

Tinggal kita tunggu, siapa yang lebih cepat: mereka, atau negara?

Operasi seperti ini hanya akan punya makna jika ia konsisten. Jika malam ini dibongkar, lusa tak boleh berdiri lagi. Jika malam ini ditegakkan hukum, maka esoknya harus dijaga, bukan dilupakan.

--

Kramat Jati, 15 Mei 2025
02.12 WIB

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun