Seorang petugas PD Pasar Jaya mengatakan, "Mereka memang punya SK, tapi tidak pernah ada izin pendirian posko di lahan ini."
Negara datang malam itu untuk menjelaskan bahwa tanah negara bukan tempat kompromi. Bahwa keamanan tidak boleh dijual bebas dalam bentuk pungutan.
"Kami tidak menyasar organisasi, tapi perilaku oknum yang melanggar hukum," tegas seorang petugas.
Saya pulang dengan perasaan ganjil. Di satu sisi, senang melihat negara hadir. Di sisi lain, saya tahu ini belum selesai. Karena kekuasaan informal itu tidak mati---ia hanya pindah. Bisa ke pasar lain. Bisa ke terminal. Bisa ke lapak mana saja yang ruangnya longgar.
Negara harus lebih cepat dari pergeseran itu. Karena yang kita hadapi bukan hanya oknum ormas yang negara sebut sebagai preman, tapi sistem---yang kadang lebih rapi daripada institusi resmi.
Posko itu sudah rata. Â Tapi saya yakin, malam itu, di banyak tempat lain, posko serupa masih berdiri. Dan oknum ormas yang negara sebut sebagai preman-preman itu masih percaya: selagi negara belum datang, merekalah yang berkuasa.
Tinggal kita tunggu, siapa yang lebih cepat: mereka, atau negara?
Operasi seperti ini hanya akan punya makna jika ia konsisten. Jika malam ini dibongkar, lusa tak boleh berdiri lagi. Jika malam ini ditegakkan hukum, maka esoknya harus dijaga, bukan dilupakan.
--
Kramat Jati, 15 Mei 2025
02.12 WIB
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI