Saya tiba di Pasar Induk Kramat Jati saat malam baru menggulung langit Jakarta menuju pagi. Alih-alih cari buah, sejatinya sedang mengkonfirmasi kabar yang saya dengar, soal Kapolsek Kramat Jati yang membongkar sebuah posko ormas. Dengar-dengar dua hari lalu kepala PD Pasar Jaya Unit Kramat Jati nyaris dikeroyok karena mau melakukan penertiban. Media juga melaporkan dari iuran bulanan pedagang kaki lima, oknum ormas bisa mendapat 225juta perbulan, itu baru di satu titik.
Saya tak ingin lebih jauh menyelinap ke dalam. Bau aroma sayur-mayur busuk menguar menunggu dibersihkan. Â Tapi malam itu bukan soal sayur. Bukan soal jual-beli. Malam itu soal sesuatu yang lebih dalam, yitu sebuah posko ormas yang menjadi simbol kekuasaan informal.
Rabu, 14 Mei 2025, malam. Â Warga dan pedagang menyaksikan sebuah posko dibongkar---bukan oleh massa, bukan oleh kelompok saingan, tapi oleh negara. Lengkap dengan apel pasukan, penyisiran, dan protokol: "Berantas Jaya 2025."
Operasi itu dipimpin oleh Kapolsek Kramat Jati, Kompol Rusit Malaka. Ia bukan polisi yang banyak bicara. Tapi malam itu ia berbicara. Di lobi PD Pasar Jaya, ia berkata tegas:
"Kita ratakan posko ormas yang meresahkan. Bila ada preman, kita amankan."
Yang dibongkar adalah Posko Ormas BPPKB Banten yang berdiri di belakang Musholla Darussalam. Bukan bangunan permanen, tapi simbol kekuasaan semi-formal yang kadang lebih ditakuti daripada petugas resmi. Posko itu bukan cuma tenda. Ia adalah 'kantor tak terlihat' tempat urusan-urusan pasar ditentukan---dari siapa yang boleh jualan, sampai siapa yang boleh lewat.
Saya sempat bicara dengan seorang pedagang sayur. "Kita sih ngga pernah berani nolak diminta jatah keamanan," katanya. Ketika saya tanya apakah ia pernah lapor ke polisi, ia menggeleng, lalu menambahkan, "Sekarang baru berani ngomong."
Laporan kepolisian menyebutkan bahwa pembongkaran berjalan lancar, selesai pukul 21.15 WIB. Tidak ada perlawanan. Tidak ada keributan. Tapi justru di situ dramanya. Dalam senyap malam Jakarta, satu struktur informal dihentikan oleh satu struktur formal---tanpa ledakan, tanpa peluru.
Di tengah operasi itu, saya berpikir tentang dua jenis kekuasaan yang ada di Jakarta: kekuasaan resmi yang memakai seragam, dan kekuasaan tak resmi yang memakai kaus organisasi. Dua-duanya mengatur. Dua-duanya dipatuhi. Tapi hanya satu yang bisa ditertibkan lewat surat perintah.
Dari salinan SK DPP BPPKB Banten, tertanggal 21 Februari 2025. Ada tanda tangan ketua umum dan sekjen. Ada nama-nama pengurus ormas di pasar itu: Rapiudin, Saepudin, Muhammad Dahlan, dan Anton. Semua rapi, resmi, dan sah secara organisasi. Tapi sah di atas kertas tidak selalu berarti sah di atas tanah.