Satu Menit Bersama Lonte: Ketika Puisi Menjadi Cermin Sosial
Oleh M Sanantara
*Catatan kritik ini merupakan respon atas Puisi "Lonte" Karya Anggita Ayu Indari yang dipublikasikan di Kompasiana (tautan)
Minggu, 8 Agustus. Saya sengaja menelusuri puisi lama yang pernah ditulis kompasianer sejak tahun 2013. Â Mata saya membelalak diiringi kejutan sumringah kecil di bibir. Betapa tidak, untuk remaja berusia tujuh belas tahun---Anggita Ayu Indari berhasil mencuri perhatian saya lewat karya puisinya berjudul "Lonte". Sebuah tema yang cukup berani dan konfrontatif, disajikan dengan pilihan diksi yang lugas sekaligus menggugah.
Puisi bertema sosial banyak kita jumpai di koran kota atau lokal semacam Kompas, Republika, atau Radar Bogor. Yang menarik, puisi selalu membuka ruang tafsir bagi siapa pun pembacanya. Justru disitulah kekuatannya: larik-lariknya terbuka bagi pembacaan ulang, bahkan perlawanan makna. Sebab nilai puitik seringkali tak hanya lahir dari estetika bunyi, tetapi dari ledakan makna di kepala pembaca. Dan tafsir pembaca, tentu bisa sangat berbeda dari tafsir penyairnya sendiri.
Salah satu daya tarik puisi adalah keterbukaan---semacam perjamuan sunyi yang menawarkan beragam rasa: pedas, getir, manis bahkan getir-manis sekaligus. Pembaca yang senang puisi akan merasa tertantang untuk membolak-balik halaman demi halaman buku puisi di perpustakaan atau toko buku, sebelum akhirnya membawa pulang kumpulan yang berhasil memantulkan dirinya sendiri.
Mengacu daya tarik itu, saya tak bisa mengelak. Saya akui, puisi "lonte" membius saya selama satu menit. Bagaimana tidak? Untuk ukuran gadis remaja, ia bisa menulis puisi sepadat dan semenantang itu? Alhasil, saya mengulangnya lebih dari dua kali.
***
Membaca Tubuh, Membaca Dunia
Bait pertama saya pandang sebagai larik enjambe---yakni ketika satu baris puitik mengalir ke baris berikutnya tanpa jeda sintaksis. Ungkapan dalam //mereka bilang aku cantik// menyiratkan observasi sosial. Diksi 'mereka' bukan sekedar pelaku jamak, tapi representasi dari publik---yang melihat, menilai, bahkan menghakimi. Dan barisnya selanjutnya //dipoleskan dengan sangat apik //berlenggang kesana-kemari //bak bidadari surgawi// membentuk metafora tubuh yang dimuliakan dan dikomodifikasi dalam satu tarikan napas.
Di sini, tubuh menjadi teks. Ia dibaca, dinilai, bahkan dipalsukan oleh standar luar. Lidah yang seharusnya alat pencecap rasa, justru tak disertai perasa dalam melontarkan ucapan. Kita tahu, tak sedikit hati manusia yang remuk oleh ringannya lidah tak bertulang membakar telinga.
Namun alih-alih menyimpan luka, si aku-puisi justru menegaskan kedaulatan atas tubuh dan kehidupannya. Validasi muncul dari dalam: paras cantik bukan kutukan, tetapi kekuatan. Larik-lariknya mengalir tanpa keraguan, bahkan seolah menyilakan publik menyaksikan keteguhannya.
Gundik, Lonte, dan Moral yang Tak Pernah Netral
Dari sudut sosiologis, istilah lonte dan gundik memiliki irisan: keduanya dilekatkan pada perempuan yang dikonstruksi melalui lensa seksualitas. Namun gundik kerap ditempatkan di ruang elite, sementara lonte menyentuh seluruh strata sosial. Yang menjadi keresahan saya: di manakah posisi moral pelanggan dalam struktur sosial ini? Jika lonte dikutuk, apakah pelanggan mereka diberi ampun?