Mohon tunggu...
M Sanantara
M Sanantara Mohon Tunggu... Art Modeling

Metus Hypocrisis et Proditio. Scribere ad velum Falsitatis scindendum.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Selingkuh dan Tubuh yang Lelah Menjadi Rumah

18 Juli 2025   22:28 Diperbarui: 18 Juli 2025   22:55 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Mart Production via Pexels.

Apakah selingkuh itu pengkhianatan, ataukah hanya ekspresi luka batin dari tubuh yang lelah dipaksa setia oleh moral? Di sinilah aku ingin memulai. Bukan untuk membenarkan, tetapi untuk menyibak---bahwa cinta, tubuh, dan kehendak bebas kadang bertabrakan di ruang yang tak bisa dijangkau akal sehat.

**

Malam itu, lain udara menusuk pori-pori bahu---terasa amat sakit. Ayunan kakiku semakin tertarik oleh gravitasi. Sejauh satu kilometer lima belas menit dari Taman Ismail Marzuki, rasanya seperti seribu kilometer lima belas jam lamanya. Mungkinkah karena ketidaksetiaanmu dalam membersamai janji kita? 

Aroma sendu hujan di langit yang tinggi tercium hidungku sehabis mimisan parah. Sapu tanganmu, yang dulu begitu lembut, kau rebut paksa dari hatiku. Sangobion dan sepenggal pepaya menjadi pertolongan pertama---yang ternyata tak berharga apa-apa.

Hujan turun sepanjang jalan memberlalukan. Aku dan bayangku mengular lalu memudar, tertimpa sorot lampu halogen mobil matic. Kota menjadi lebih dingin dan sunyi sejak keberangkatan pukul 09:15 pagi itu. Hidup terasa seperti kegelapan tak berujung. Tapetum lucidum dari mata kucing hitam seolah kupinjam untuk melihat.

Di jalan kecil Cikini, tanpa arah, persepsi, hasrat, atau ketakutan. Aku menyaksikan sesuatu. Di pinggir trotoar, kaki-kaki besi mereka--- barangkali sepatu orang-orang tergesa atau roda troli pengantar---sibuk memperkosa setangkai bunga kecil: rapuh, layu, hampir koyak-moyak. Sebagai manusia dungu, aku mencari kebenaran di balik muasal kesadaran. Yang kutemui cuma kenampakan yang mendera, tanpa makna. 

Sekali lagi menggilas pandangku pada segala permukaan, segala tak berujung.

Kuhampiri bunga itu. Aroma kematian melekat erat. Tanpa sadar, air mataku tumpah. Tetesannya semoga menunda ajal menjemputnya. Namun sia-sia kasih ilahi membenamkannya dalam taman kesunyian. Lalu seperti disetubuhi cahaya, rembulan lewat tangan berkuku panjangnya mengajariku menemukan cinta.

Hari-hari berikutnya, aku menghabiskan waktu di toko bunga. Mengamati tangan-tangan perangkai bunga menjahit satu per satu: tangkai, kelopak, daun, dan pita membentuk ucapan selamat atau belasungkawa. Di sana, aku menyadari: cinta pun adalah susunan estetika untuk kepentingan sosial bukan menumbuhkan kehidupan pribadi sepenuhnya.

Di luar sana, tubuh bisa setia tapi jiwa berkeliaran.

Seorang perempuan bisa saja tak pernah tidur dengan lelaki lain, tapi tiap malam ia membaca ulang pesan cinta dari masa lalu yang tak kunjung padam. Di situ tubuhnya diam, tapi hatinya melancong. Bukankah itu juga bentuk selingkuh yang tak kasat mata?
Selingkuh yang tak butuh ranjang, hanya ruang dalam kepala dan hati yang tak pernah ditutup sepenuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun