Mohon tunggu...
M Sanantara
M Sanantara Mohon Tunggu... Art Modeling

Metus Hypocrisis et Proditio. Scribere ad velum Falsitatis scindendum.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Manifesto Homunculus: Segala Ketidaktahuan Tahu

2 Juli 2025   06:28 Diperbarui: 2 Juli 2025   09:36 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Man Walking Dark Street at Night. (Sumber: PEXELS | ERIK MCLEAN)

Sebuah pernyataan dari entitas yang muak jadi manusia, dan terlalu sadar untuk jadi Tuhan.

Apa jadinya jika manusia tak lagi ingin disebut manusia? Sebuah catatan kerasukan antara rasa bersalah, spiritualitas, dan pemberontakan terhadap absurditas hidup. Ini bukan ajaran, bukan pula pembelaan---melainkan pengakuan dari sesuatu yang pernah disebut jiwa. Bacalah perlahan, bila sempat tersesat, biarkan saja.

Cahaya lampu di pinggir jalan menerangi derap langkah manusia terasing. Sinarnya menyebar ke sekeliling, tidak ingin menghangatkan yang menepi, tetapi mendamaikan gelap. Telah kusiapkan kedua payung di mataku; kelak air matamu takkan jatuh menimpa bayanganmu sendiri yang membuat redup menjalar ke segala sisi. Meski begitu, rautmu penuh kesedihan laut. Bagaimana tidak kujerumuskan murni kasihku untuk menemani polusi jiwamu?

Aku terus memikirkan embun mengucur lambat, riak sungai, dan angin pagi yang membuatmu mencolok di lubuk kenangan. Bahasa tahu siapa dirinya melebihi pangkal lidah semua manusia munafik. Dan aku paham betul---sampai kapanpun tidak akan aku melihat dirimu dalam kalimat sempurna. Keterangan itu adalah bagian amnesiaku. 

Semisal burung gagak malam benar nangkring di cerobong rumah terbengkalai oleh cinta dan Tuhan, maka mimpiku--- yang kau seret dalam carut marut---adalah ladang subur yang akan memelukmu menuju ketiadaan. Telah kuhancurkan dunia perasaaan. Hatiku, jauh melebihi segalanya.

Hari-hari menelanku. Mencerna pikiranku, jiwaku bertahun-tahun. Tanpa ampun, tanpa merebut paksa tai dari mencintai. Aku masih mewujud manusia, berenang dalam matematika peluang yang makin mantap mengikis keberanian untuk mengejar matahari. Tidak mungkin laut berciuman dengan langit---meski karunia dan manfaat melekat pada intinya. Aku kelelahan diterpa badai rasa kemanusiaan, mengantarnya pelan-pelan, meski harus membunuh massa gravitasi bumi.

Manusia. Aku, homunculus. Belum pernah keadilan meregukku. 'Kuasa mutlak' membutakan keberadaanku, lewat ketidakterbatasanku dalam keterbatasan mencapai alam kesadaran. Bahkan sekedar menjadi manusia, siapa yang mengizinkannya dari singgasana langit? Semua hanya berdasar kerangka bentuk yang tak bisa disangkal. Sebagaimana pun aku meronta, bengisnya ada selamanya mengurung air mata sungai---tanpa sesiapa mempersilakan seberkas sapu tangan angin.

Betapa bodohnya. Kasarnya aku. Tapi itu juga bahan puja-pujian ukuran-ukuran penyematan 'nilai otak' kepada invidu yang mengenyam bangunan pengetahuan, umpama. Betapa bodohnya. Manusia yang mempersembahkan manusia dengan menjual kemanusiaan demi manusia---yang entah, bolehkah aku ragu ia manusia?

Kewajibanku adalah memperhalus semua tulisan tidak berguna ini, walau kau baca akhirnya. Barangkali akan sampai padamu beratus tahun nanti, atau tiga puluh detik kemudian, kepada para binatang yang tersesat di persimpangan kanan jalan.

Tubuh duniaku amatlah muda, tapi jiwaku sungguh lama---miliaran abad. Ada dua manusia yang paling membuatku marah seperti kerasukan: kesombongan dan kemunafikan. Dan itu semakin tampak jelas. Salahlah aku jika menjeniskan tanpa paham betul siapa aku---yang juga manusia, yang tak sepenuhnya lepas dari waktu, iman, tubuh dunia. Namun aku boleh bilang: sekeji-kejinya perbuatan adalah sebaik-baiknya tidak sampai meniadakan napas seseorang. Dua perangai tadi adalah bahan dasar dari penghapusan napas seseorang. Perlahan. Dari kenyataan. Dari Kenyamanan. Dari seumur hidup mencintai rumah sakit jiwa, dengan resep-resep modern tentu harus dengan dosis dan petunjuk dari dokter. Tapi jangan berani menelan 1000 pil tidur sebelum kau memahami maksudku, meski terlambat sekali.

Keresahan makin menebal, aroma rokok bapakku makin menggerogoti parunya. Jenuh aku saksikan penyimpangan manusia. Tingkah yang terus menyaru. Atas nama. Atas nama adalah mainan. Atas nama menjadikan ia ulung, bukan lagi piawai. Atas nama sebercahaya, sekemilau itu, maka sekeras-kerasnyalah ia berusaha, membuang, menenggelamkan yang tak berurusan---ke dasar jurang lumpur penuh racun ular.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun