Mohon tunggu...
Mahardhika Zifana
Mahardhika Zifana Mohon Tunggu... Just an ordinary man

I'm a Sundanese who love my people, culture, language, and religion.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Map Lusuh di Sudut Meja

10 Agustus 2025   21:51 Diperbarui: 10 Agustus 2025   21:51 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Map itu tergeletak di sudut meja rapat Pusat Bahasa di Kampus Universitas Wangsalaga. Warnanya telah pudar menjadi cokelat kusam. Sudut-sudutnya terlipat, sebagian kertas di dalamnya mengintip seperti ingin kabur dari isinya sendiri. Tak seorang pun meliriknya.

Di ujung meja, Bu Ratna, kepala bagian keuangan, sedang tertawa lebar, mengomentari bundel berlapis mika milik Bu Wati, yang berkilat bagai baru keluar dari mesin cetak. Semua orang di sekitar mereka, termasuk Randi dan Sinta, mengangguk-angguk, tersenyum, seolah-olah itulah karya yang akan menyelamatkan dunia kebahasaan.

Sementara itu, Fatah, pemilik map lusuh, duduk di kursi paling pinggir. Jarinya menggenggam ujung meja, matanya mengikuti arah obrolan yang tak pernah mengarah padanya. Ia tahu isi map itu penting---ada ide, ada kegelisahan, ada catatan yang lahir dari malam-malam panjang. Akan tetapi, ternyata yang dicari orang lain bukanlah esensi atau isi, melainkan kilap permukaannya.

Beberapa kali Fatah mencoba menyelipkan pendapat. Tapi kalimatnya tenggelam di tengah tawa Bu Ratna, atau tersapu tepuk tangan yang diarahkan pada Bu Wati. Tak ada yang benar-benar mendengarnya.

Di sudut pandang Fatah, map itu seperti berdesah pelan, meminta dibawa pulang saja. Di luar jendela, hujan mulai turun, menorehkan garis-garis tipis di kaca. Rapat berlanjut, tapi bagi Fatah, suara yang terdengar hanyalah gemericik air di luar---lebih jujur daripada semua sapaan di ruangan itu.

Ketika rapat bubar, map itu tetap di tempatnya. Tak seorang pun bertanya tentangnya. Fatah lalu mengangkatnya pelan, menyelipkannya ke tas, dan berjalan keluar. Di punggungnya, terdengar samar-samar suara nama orang lain dipanggil.

Fatah melangkah keluar dari ruang rapat Pusat Bahasa, menunduk sedikit sambil menyesuaikan tali tas di bahu. Map lusuh itu terasa berat, bukan karena kertasnya, tapi karena semua yang tak sempat ia ucapkan.

Lorong fakultas sepi, hanya suara langkahnya yang memantul di lantai licin. Aroma kopi basi dari dispenser pojok ruangan mengikuti dari belakang. Di ujung koridor, pintu kaca terbuka ke halaman kampus yang basah oleh hujan.

Begitu kakinya menjejak anak tangga pertama, angin dingin menerpa wajahnya. Hujan masih menetes pelan, membentuk lingkaran-lingkaran kecil di genangan. Fatah berhenti sejenak di teras, menatap jalan setapak menuju gerbang Universitas Wangsalaga.

Di kejauhan, tawa sekelompok mahasiswa yang berlarian menghindari hujan terdengar riang---sejenis kebisingan yang tak pernah benar-benar memanggilnya untuk ikut. Ia merapatkan jaket, menghela napas, lalu melangkah melewati gerimis tipis. Map di dalam tasnya bergeser, seperti mengingatkan bahwa isinya hanya akan didengar bila ia menemukan ruang yang tepat.

Hujan makin rapat saat Fatah menuruni jalan menuju gerbang. Air mengalir di tepi trotoar, membawa dedaunan kering yang berputar-putar seperti tak tahu ke mana harus pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun