Memelihara hewan peliharaan saat merantau bukanlah keputusan yang mudah. Terlebih jika harus berpindah kota, apalagi antarprovinsi.Â
Namun, bagi saya, keberadaan Belang, kucing yang saya adopsi sejak awal kuliah di Yogyakarta. Maka, ketika masa kuliah usai dan waktunya pulang kampung ke Jakarta, saya sadar bahwa Belang harus ikut serta.
Tahun pertama kuliah di perantauan terasa asing. Sebagai anak tunggal dari Jakarta yang terbiasa hidup di rumah dengan suasana ramai, tinggal sendiri di kos membuat saya merasa sepi.Â
Semua berubah saat saya menemukan seekor anak kucing kecil bersembunyi di bawah motor di parkiran kampus.
Bulu belepotan lumpur, suara mengeong pelan, dan tubuh kecilnya gemetar. Saya tak berpikir panjang, saya bungkus dengan jaket, membawanya pulang, dan sejak saat itu hidup saya berubah.
Saya kasih nama Belang karena saat ditemukan dalam kondisi belepotan tanah dan warna dasar bulunya putih. Tidak ada hal filosofis, menurut saya, nama Belang lebih sederhana dan mudah diingat. Hahaha.
Tinggal bersama Belang mengajarkan saya banyak hal, di antaranya tentang tanggung jawab, kasih sayang tanpa syarat, dan kesetiaan. Belang bukan sekadar kucing peliharaan. Dia menemani saya belajar, tidur di ujung kaki saya setiap malam, dan bahkan 'ikut' saat saya menonton film atau menyelesaikan skripsi.
Saat pandemi melanda dan kota seperti mati suri, Belang jadi satu-satunya teman saya di kamar kos. Di saat banyak teman memilih pulang, saya bertahan di Jogja karena tak ingin meninggalkan dia sendirian. Itulah betapa pentingnya dia bagi saya.
Tiba waktunya, setelah lulus kuliah, saya memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Namun, pertanyaan besar pun muncul: bagaimana saya bisa membawa Belang pulang?
Naik kereta bersama Belang jelas bukan pilihan karena tidak diperbolehkan kalau penumpang membawa hewan peliharaan ke dalam gerbong, kecuali hewan kecil dalam kandang tertutup, dan itu pun harus atas persetujuan petugas. Alternatif lain seperti pesawat terlalu mahal dan rumit untuk urusan dokumen dan kandang khusus.