Mohon tunggu...
Putri
Putri Mohon Tunggu... -

Silence is golden............ (sometimes)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Vignette

20 April 2014   23:23 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:25 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

[caption id="" align="aligncenter" width="297" caption=" richo-docs.blogspot.com"][/caption]

Aku tak tahu kenapa akhir-akhir ini hidupku serupa vignette dua warna. Kelihatan hanya hitam putih dan makin abstrak. Semua bunga dan sulur-sulur hidupku melata ke mana-mana tak terarah. Semuanya menciptakan bias baru yang sama sekali  tak kukenal.

Hentakan perasaan itu menghempaskan aku dari titik tertinggi ke titik nadir. Sesuatu yang hampir tak bisa membuatku bertahan. Apa aku harus berlagak kuat ketika aku rapuh? Apakah aku harus kelihatan tegar ketika aku putus asa? Semua sandiwara ini cuma membuatku letih dan tersiksa.

Terus kemana aku harus melarikan rasa lelah dan terpurukku?

Aku cuma bisa meniti tiap sulur vignette hidupku yang bahkan tak pernah kugambar sendiri. Tanganku harus menggapai kesana kemari mencari sesuatu untuk kupegang dan jadi gantunganku. Terpaksa, karena aku tak tahu harus berbuat apa lagi.

Tidak! Aku tak bisa membencinya. Dia orang yang sudah memberiku darah kehidupan untuk pertama kalinya. Seseorang yang harus kupanggil Bunda dengan segala kasihnya kepadaku. Tapi apakah kalau dia sudah memberikan semua padaku lantas dia bisa membebaskan hatinya untuk berselingkuh?

Semua tak pernah tepat ada tempatnya. Aku benci harus merasa merana. Aku benci harus bertarung sendiri dengan perasaanku. Sementara kulihat di ujung sana orang yang kuhormati hanya bisa mengelus hatinya yang retak.

Dan vignette-ku meliuk membentuk cinta. Aku ingin membuang muka. Cinta? Yang seperti apa? Kenapa harus mengatakan cinta kalau akhirnya hanya menyakiti? Kenapa harus mengejar cinta kalau akhirnya hanya menikamkan luka?

“Kau boleh marah pada Ayah, tapi jangan pernah kau benci Bundamu.........”

Bolehkah aku meneriakkan ‘sh*t!!’ dengan sekuat tenaga?

Dengan segala lara dan nelangsa yang harus dia tanggung dia masih tak mengijinkan aku membenci Bunda? Aku ingin mengangguk tapi kepalaku menggeleng. Ketika otak dan hati tak lagi sinkron lagi mana yang harus kuturuti? Derita di matanya membuatku terpenjara dalam sulur-sulur baru yang mengikatku erat.

Aku tetap di sini walau tak pernah berharap menunggunya kembali. Bundaku. Setidaknya seorang manusia yang harus kupanggil Bunda. Kemarahanku sudah pupus dihantam genggaman tangan yang berasa hangat di telapakku. Ayahku. Meninggalkan kekosongan yang menggaungkan segala suara dalam ruangan.

Tatapan kuyunya menelikung semua emosi dan benciku. Ucapan lembutnya membuyarkan segala tegarku. Dan aku menangis parah untuknya bukan untukku sendiri.

“Jangan menangis, nduk ayu...........”

Semuanya membuatku makin tersedu dan seketika menyirapkan kesadaranku. Ini salibmu, Saraswati! Yang harus kau tanggung tak tahu sampai kapan. Aku pun terpaksa menyerah dan menerimanya dalam ikatan sulur berwarna hitam pekat.

Vignette itu masih hitam-putih. Bunga dan sulurnya masih membelit Paskahku kali ini. Aku tahu segenap kebencian itu harus mencair demi sebuah gambaran cinta. Maka cintaku akan meleleh dalam dekapan hangatnya. Ayahku. Bila tak bisa hari ini kuharap dia bisa memelukku lagi esok atau lusa atau esoknya lagi atau esoknya lagi.

Aku akan tetap menunggu dengan tegar dan rapuhku. Aku akan tetap berdiri dalam harap dan pasrahku. Aku akan tetap menyimpan benci dan cintaku. Aku akan tetap menunggu waktu itu tiba. Ketika warna vignette-ku kembali semarak. Tak lagi hitam putih. Mungkin namanya tak lagi vignette tapi bagiku tetap sama. Ada sulur dan bunga yang terangkum di dalamnya. Ada yang memang sengaja kugambar sendiri tapi ada juga yang tidak.

Menghapus gambaran yang tidak diharapkan? Aku ingin sekali tapi tidak. Biarlah waktu yang melakukannya. Biarlah aku mengukur ketegaranku sendiri sementara ini dalam warna hitam dan putih.

**********

*b.e.l.a.j.a.r.b.i.k.i.n.f.i.k.s.i*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun