Pagi itu udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah langit menyimpan rahasia yang enggan diungkap. Embun masih menempel di rerumputan sepanjang jalan menuju sekolah, membuat langkahku terasa licin. Aku berjalan perlahan, menunduk, sambil sesekali meraba saku rok di mana kertas kecil dari Joan kusimpan. Kertas itu tipis dan ringan, tapi rasanya seperti beban yang terus menarik pikiranku.
Setiap kali mengingat tulisannya---"jangan percaya semua senyum"---bulukuduku merinding. Aku tak bisa berhenti bertanya-tanya: apakah maksudnya hanya sekadar peringatan kecil, atau ada sesuatu yang jauh lebih besar, lebih gelap, menunggu di balik kata-kata itu?
Gerbang sekolah sudah tampak dari kejauhan. Biasanya suasana di sini dipenuhi riuh tawa siswa yang datang lebih pagi, tapi kali ini terasa berbeda. Hanya ada segelintir murid yang berlalu-lalang, dan bahkan suara mereka terdengar samar. Jam dinding di gerbang menunjukkan pukul 06.55---lima menit sebelum janji yang tertulis di kertas.
Aku menoleh ke arah belakang sekolah, tempat aula lama berdiri. Bangunan itu seperti bayangan masa lalu yang ditinggalkan. Cat temboknya kusam, penuh lumut, dan sebagian jendelanya dipaku dengan papan kayu. Angin berhembus melewati celah-celah dinding, menghasilkan bunyi berdesir aneh, seolah bangunan itu bernapas dengan caranya sendiri.
Dadaku berdegup kencang. Aku tahu kakiku bisa saja berbalik arah sekarang, kembali ke kelas dan melupakan semuanya. Tapi ada sesuatu dalam diriku yang menolak mundur---sebuah rasa penasaran bercampur ketakutan yang mendorongku maju.
Langkahku semakin dekat, hingga akhirnya aku berdiri tepat di depan pintu aula. Pintu kayu tua itu terbuka sedikit, menyisakan celah gelap. Dari dalam, aroma debu bercampur kelembapan memenuhi hidungku. Dengan tangan gemetar, aku mendorong pintu itu perlahan. Suara deritannya panjang, melengking, seperti jeritan yang mengabarkan bahwa seseorang baru saja masuk.
"Astaga..." bisikku lirih.
Di dalam aula, kegelapan mendominasi. Hanya ada cahaya samar dari celah atap yang bocor, membentuk garis-garis tipis di udara penuh debu. Bangku-bangku kayu tersusun tak beraturan, sebagian roboh, sebagian ditumpuk seadanya. Seperti ruangan yang sudah lama dilupakan, tapi tetap menyimpan jejak aktivitas yang pernah hidup.
"Joan?" panggilku, dengan suara hampir tak terdengar.
Hening. Hanya suara langkahku yang bergema. Setiap kali aku bergerak, papan lantai yang lapuk berdecit pelan, menambah suasana menyeramkan. Aku bisa merasakan jantungku berdetak sampai ke telinga.